Ulasan One Piece Live-Action Episode 5 & 6

Benji
11 min readSep 12, 2023

--

[Artikel sebelumnya: Ulasan OPLA Episode 3 & 4]

Kesan sebelum — bahkan sesudah — menonton (dari orang-orang internet): tak sedikit fans lama yang mengeluhkan tingginya alokasi untuk penceritaan Garpkobymeppo (terlalu side-by-side). Biasanya diikuti dengan keluhan/saran, bahwa baiknya porsi tersebut digunakan untuk mengeksplorasi Usopp (pada dua episode sebelumnya) dan Sanji pada dua episode ini.

Itu pendapat yang bisa saja akurat, bila kau mengabaikan Garp dan Koby yang kini berstatus sebagai main characters dalam main plot bayangan — layaknya banyak serial TV lain hari-hari ini. Dalam canon, One Piece mulanya belum disertai penulisan macam itu. Satu plot saja yang berjalan linear mengikuti Luffy cs. belum tentu punya impak yang sama bagi audiens TV show. Pengubahan macam ini juga berbeda dengan pengubahan kisah Klahadore pada dua episode sebelumnya, yang lebih kentara plus-minusnya.

Satu(-satunya) yang bisa diukur ialah seberapa krusialnya penulisan untuk Garpkobymeppo saban mereka muncul — yang lagi-lagi berbeda-beda bagi setiap orang. Karena untuk saya, setelah pengubahan lain lagi [Krieg], porsi atau screentime untuk Sanji pada dua episode ini sudah cukup..

..sekalipun ia tidak terlihat sekurus-keringkeng ini

Yang pasti, ada excitement setiap menjelang episode terbaru serial ini. Dengar, sebagai anggota fans klub Gaimon (anggotanya tidak banyak, salah satunya Eiichiro Oda sendiri), saya bahkan tidak komplain akan absennya sang animal defender. Apalagi bila penulisan serialnya tetap koheren dan mampu menangkap esensi One Piece — seperti episode kelima dan keenam arahan sutradara Tim Southam ini.

Episode 5 — Eat at Baratie!

Episode dimulai dengan baik: kekacauan mengendalikan kapal baru. Poin yang tepat untuk menampilkan para amatiran (atau newbie) ini di awal pelayaran mereka.

Lalu diikuti hal-hal yang baru terjadi setelah 400an chapter manga-nya yang langsung ditarik ke dalam serial ini. Tadinya juga saya hendak membahas soal perubahan karakteristik Garp. Kebanggaan tersiratnya pada Luffy saat ngakak di kapal bisa jadi terlihat ‘maniacal’ bagi para penonton baru. Lebih-lebih, Garp kini jadi ‘kurang gokil’, seakan punya sense of justice yang berbeda, yang lebih kompromis ketimbang Koby, jadi Garp yang — nggak jadi deng, usai melihat konklusi pada episode finale.

Barangkali memang ada porsi Garpkobymeppo yang bisa dikurangi. Namun sejauh yang saya tangkap, seringkali ketiganya digunakan untuk menjelaskan cara kerja dunia yang ini kepada audiens baru. Helmeppo menjelaskan sistem warlord (atau shichibukai, ekuivalen privateers di semesta One Piece) kepada Koby yang tak tahu apa-apa. Sementara Garp selaku penyampai bagaimana dunia bekerja (spesifiknya, korupnya Marine) kepada Koby pun jadi pilihan baik — meski juga mengesankan orang sekuat dia pun tak bisa berbuat apa-apa. Semua itu malah bikin saya justru menantikan, bakal diputer begimana lagi nih karakter sebesar Garp selepas melihat wujud anyarnya, usai menikmati akting mengesankan Vincent Regan.

Mengapa pula penjelasan dunia dan lore-nya tidak disertakan ke plot utama? Eh, Luffy tidak betul-betul peduli. Kita sudah melihatnya dari episode 1. Dia bahkan tak begitu paham apa itu Grand Line, sekalipun itu tujuan pelayaran mereka.

Salah satu kelebihan penulisan Owens dan Maeda yang paling kentara ialah menterjemahkan karakter dua dimensional dari manga-nya jadi ‘benar-benar 3D’ (lebih realistis lah). Tak hanya pada Garpkobymeppo, amplifikasi serupa bisa dirasa pada awak Straw Hats, yang juga dituangkan pada banyaknya bonding yang ditunjukkan dengan interaksi antarawak kru perompak newbie itu dalam dua episode ini.

Para Straw Hats versi 2D, berkat kelebihan medium manga/anime bisa dibilang menepikan banyak urusan bonding karena pemahaman mereka pada satu sama lain bisa digambarkan, entah dalam situasi konyol atau filler anime. Namun manusia betulan tentu butuh pendekatan berbeda. Adegan Nami yang mengutus Zoro berbicara kepada Luffy jadi pembuka tema bonding di episode. Jadi makin bernilai karena sang first mate dan kaptennya sama sekali tak membahas apa-apa — tetap menangkap esensi keduanya dalam wujud manusia betulan, dalam dialog yang juga lazim ‘dilangkahi’ medium gambar gepeng.

Marimo: “About the battle, you wanna talk about it?”
Rupe (masih sibuk betulin topi): “Nope.”

Dan kita tiba di Baratie, yang lebih apik lagi wujudnya dari trailer, dari foto-fotonya yang beredar sejak lama, jadi supermewah bila dibandingkan aslinya. Baratie bahkan jadi kian hidup berkat kapal-kapal konsumen, dermaga-dermaga kecil mengapungnya.

Kita juga disuguhkan entrance Dracule Mihawk yang bangsatt, leh jg u live-action. Kemunculannya saja sudah nyaris bikin saya melupakan satu dari dua harapan saya untuk episode ini: adanya adegan sang pendekar pedang terhaibat dunia membelah kapal, krusial untuk menunjukkan secuil skala kengerian figur-figur yang bakal dihadapi Luffy cs. kelak. Adegan yang diharapkan untungnya tetap muncul, dengan bobot yang sama, kalau bukan meluap melampaui One Piece medium mana pun.

Membahas Mihawk dan penggambarannya di sini oleh Steven John Ward rasanya bakal memakan satu artikel sendiri. Ini karakter yang sedari desain saja telah menguarkan kesan cool tumpeh-tumpeh. Cukup misterius tapi juga sosok yang bosan nggak ngapa-ngapain saking overpowered-nya, si Gothic Malam Edan yang brooding melulu. Sang aktor masih mengusung ciri yang sepenuhnya sama (minus brooding-nya), bahkan membawanya lebih jauh, makin utuh, dengan aksen Inggris apalah itu, terutama untuk urusan jadi flamboyan-tapi-mematikan, selaras dengan pilihan outfit-nya yang meneriakkan “pick me!”

Perubahan alur komando dalam penceritaan Mihawk (dan para warlords) kelak dijawab sendiri dalam cerita: bahwa perompak, berstatus privateers sekalipun, tetap berlaku seenaknya. Di lain sisi, Koby kian konsisten diangkat jadi voice of reason atau agen perubahan, ketika mempertanyakan pemerintah yang mempekerjakan warlords untuk kerja-kerja kotor (yah, semacam ormas binaan negoro). Itu jadi pendekatan yang tak hanya mengisi kekosongan yang ditinggalkan canon-nya, tapi juga ‘mempercepat’ penggambaran karakternya menuju Koby yang kita [fans lama] kenal hari ini.

Luffy juga ‘dipercepat’ penjelasannya. Lewat dialog atau lines (“I don’t do complicated either”), lagi-lagi menerapkan kebalikan dari teknik “show, don’t tell”, yang berbanding terbalik dengan penulisannya di canon. Maka dengan cepat, ia jadi tampak lebih kompleks — minimal bisa bikin tanda tangan.

aslinya, dia tidak begitu mengerti konsep tanda tangan

Satu bagian ketika penulisannya malah menerapkan teknik “show, don’t tell” justru mungkin luput untuk sebagian orang: ketika Luffy menilai Zoro dan Sanji sama-sama sebagai ‘good fighter’. Kesan demikian hanyalah bonus, karena yang terpenting adalah dia ada di sana, mengamati lamat-lamat ketika Zoro memakan onigiri yang diinjak Rika (episode 1), juga melihat Sanji berbaik hati membuatkan makanan untuk Gin (awak Don Krieg, penyintas Grand Line, penyintas Mihawk).

Cara cepat dalam menampilkan interaksi antarawak Straw Hats juga rasanya cukup efektif. Eksekusinya mungkin tak sempurna, tapi dengan cepat kita bisa melihat Luffy dan Usopp sefrekuensi dalam banyak hal; porsi memadai percakapan Luffy-Sanji; terlihatnya Usopp dan Nami sebagai duo penakut (atau paling manusiawi) di kru; plus bonus untuk fans lama: interaksi Nami dan Zoro yang nyatanya memang berbagi kesamaan nasib — juga penting karena status keduanya sebagai dua nakama pertama.

Skip ke penghujung episode, perkara flashback masa lalu Zoro yang ditempatkan saat dia dicemplungin ke sumur (episode 4) alih-alih pada episode ini: kendati tetap terasa mendingan taro-sini-deh, tapi akhirnya jadi masuk akal. Sebabnya, di samping padatnya episode ini, menghadirkan ulang backstory dia dalam selipan-selipan pendek malah lebih pas untuk ritme duelnya kontra Mihawk.

Absennya Carne, juga Johnny & Yosaku dapat dipahami. Baratie tetap memuaskan. Sebelum tulisan jadi lebih panjang: poin-poin terkuatnya, juga tone-nya, bikin dua episode ini jadi rangkaian yang paling rewatchable untuk saya.

cameo Pearl (ahah matiajalo) dan Krieg

(-) lainnya

  • Serial sudah cukup brutal dan gore. Tapi rasanya tetep kurang maksimal aja tuh penggambaran luka Zoro abis ditebas orang yang bisa belah kapal.
  • Nggak ada perahu kecil Mihawk (bukan keluhan penting).
  • Bukan hanya nyaris matoy, ada satu elemen yang dihilangkan dari duel Mihawk vs Zoro. Di manga, seingat saya, Marimo sempat depresif ketika menyadari dia belumlah apa-apa di dunia ini — build up yang diperlukan sebelum dia menyatakan kesetiaan pada Luffy.
  • Dengan banyak diubah/direduksinya plot Krieg dan Gin, turut menghilangkan sederet momen menentukan untuk Sanji. Jadi tak perlu dibahas lebih jauh juga karena sedari awal yaa.. udah begini jadinya. Untungnya, kelanjutannya bisa dirangkai rapi.

(+) lainnya

  • Backstory Luffy dan Garp. Diringkas di sini, tempaan yang meski lebih mild tapi dilakukan Garp versi sicko. Kebalikannya di manga, Garp lebih gokil/chill, tapi ‘latihan’nya kepada Luffy jauh lebih alig. Intinya tetap sama, child abuse nih orang.
  • Mihawk vs Zoro. Kelahi dua pendekar pedang sudah sangat layak, plus perbedaan gaya berpedang keduanya yang disorot. Ditambah bonus bahwa ini dirangkai dengan baik sejak Mihawk melihat Usopp joget-joget dan membual (poin positif lain).
  • Luffy bayar pesanan makanan dengan kredit, gatau kredit apaan. Seingat saya, memang ada di manga, tapi bukan di Baratie. Intinya, dia tetap tak betul-betul paham bagaimana dunia bekerja.
  • Luffy jadi pesuruh di Baratie. Itu harapan #2 yang saya harapkan tetap ada untuk episode ini. #1-nya, perkara kekuatan Mihawk jelas esensial. Nah, yang ini harapan personal, trivial, lucu-lucuan aja. Terkait tema yang nggak begitu penting: bahwa sebagian kru Straw Hats [spoiler manga] pernah nonaktif/keluar dari posisinya dalam kru, termasuk Luffy sendiri.
  • Don Krieg (dan Pearl terkapar). Di luar banyaknya kesan “human weapon”-nya yang dikurangi, ya kan cameo doang, tampang Krieg jadi jauh lebih keren di sini. Dan Pearl, ya mendingan kayak gitu aja udah.
  • Penempatan musik, sebelum title opening, sebelum menjelang Baratie itu *chef’s kiss*.
  • Musik tema Mihawk. Siapp bang flamenco, biar ga brooding mulu tu.
  • Zeff. Seperti ditarik langsung dari manga, diperkuat akting Craig Fairbrass, semua sudah sesuai/melewati ekspektasi — jadi salah satu penampil terbaik dalam serial.

Episode 6 — The Chef and the Chore Boy

Di manga-nya, saya tak betul-betul ingat bagaimana mereka merawat Zoro (selain dibebat gitu doang oleh duet emas Johnny & Yosaku yang absen di sini). Yang pasti di live-action-nya, ini jadi perubahan yang segar karena melibatkan Zeff dan Sanji. Selain memberikan lebih banyak screentime untuk kepala koki dan sous chef Baratie, juga menunjukkan pengalaman dan skill mendasar yang dimiliki pelaut kawakan sepertinya. Ditambah pula dengan referensi untuk sea shanty di sana, diikuti kasarnya mulut pelaut dari congor Zeff, Sanji, bahkan Sanji kecil, yang cocok untuk latar belakang mereka. (Dua tautan dari kalimat terakhir nyambungnya ke artikel bikinan saya juga. Masukk).

Kejadian yang sama lantas dirangkai dengan lebih banyaknya interaksi para Straw Hats, mengangkat kepekaan-kepedulian satu sama lain. Luffy di sini bahkan menolak makanan lantaran ia sedang sibuk merawat pedangnya Zoro (dengan pengejaan nama pedang sekenanya khas dia). Rada ganjil memang, tapi ini bukan kali pertama dia menolak makanan di serial ini, yang lantas dirangkai dengan baik menuju tema utama episode ini: mempertegas loyalitas dia pada kawanannya, sekalian memperdalam perkara captaincy-nya Luffy.

Manga-nya punya cara berbeda dalam menunjukkan struggle-nya Luffy jadi kapten yang betulan kapten. Serialnya ini cukup sukses mengangkat tema tersebut seraya mengawinkan berbagai angle. Dimulai dari pengisahan Sanji soal captaincy Zeff yang berlanjut ke backstory mereka (masukk). Kisah ini disampaikan pelan-pelan, nyaris khidmat, yang meskipun saya ingat betul jalannya tapi tetap mampu melukai, juga berkat penyampaian menawan oleh Fairbrass dan Christian Convery (pemeran Sanji kecil). Lantas dibuntuti kejutan: pengisahan legenda Mont Blanc Noland yang dibacakan Nami. Lagi-lagi menyoal kepemimpinan, nyangkut pula dengan perspektif dia ihwal impian yang berbeda dengan Luffy. Ini menjadikan Nami tampak lebih peka lagi, sekalian jadi pembangunan yang tepat menjelang backstory sang navigator pada dua episode mendatang.

Itu waktu-waktu yang tepat untuk berbincang antarawak, memahami satu sama lain, yang kerap dilewatkan — karena medium dan penceritaan— manga-nya, terlebih bila melihat One Piece pasca-timeskip.

Menyertakan Arlong sejak mula, kali ini bersama (surprise, shithead!) Buggy di balik bayang-bayang plot utama juga jadi langkah cermat seusai melihat naratifnya keseluruhan. Arlong jadi punya waktu untuk memaparkan motifnya, di samping lore kaum fishmen yang penuh hikayat diskriminasi berbasis rasisme — yang ditampilkan dengan jitu berkat penempatan sesosok fishman lain sebagai pelayan di Baratie.

Perbedaan antara Arlong dengan villain lain di East Blue juga segera ditampilkan, manakala pukulan-pukulan Luffy nyaris nggak ngefek di kulit sawshark-nya. (Saya cukup sering melupakan powerscaling. Katakanlah, bila orang biasa menerima Gum Gum Pistol dengan kecepatan dan kekuatan demikian, minimal retak tuh tengkorak.)

Entah karena pengarahan atau editing yang kurang mengena, beberapa momen tampak kurang mulus, ambil contoh saat Nami dan Zoro mentertawai Luffy dan Usopp yang rebutan jadi kapten (walaupun saat rewatch momen yang sama jadi terasa lebih alami penyampaiannya [mungkin karena beban kekhawatiran aja nih pas nonton pertama!]). Kesan serupa juga setidaknya dua kali terlihat pada penyampaian dan reaksi Sanji. Ada beberapa cut yang tampak kurang pas timing-nya, bikin dia tampak kurang sigap, bahkan terlihat corny — mengingat Taz Skylar justru salah satu penampil terbaik di antara Straw Hats. (Sekali lagi, bergantung pada penulisan dan detail karakterisasinya.) Flirty, womenizer-nya Sanji di sini, alih-alih simp menjurus inappropriate, justru jadi penggambaran yang lebih baik, yang terbantukan pula oleh senyum dan ketawanya sang aktor yang memang sudah on-point Sanji.

Kehangatan lantas menjalar pada penghujung episode, tepatnya adegan pengukuhan sumpah setia Zoro pada Luffy. Penyampaiannya kadang terasa rada corny — demikian juga keseluruhan serial (menunjukkan sulitnya mengadaptasi penulisan manga ke medium berbeda) yang sebetulnya tidak jadi problem utama buat saya. (Saya ingat betul banyaknya lines dan dialog yang corny saat nunton live-action Alita: Battle Angel)

Adegan minum-minum Zoro dan Nami pada episode 5 tadinya saya pikir dimaksudkan jadi latar hilangnya keraguan Marimo pada Cat Burglar — sebelum menyaksikan di episode mendatang di mana tetap ditunjukkan Zoro yang curigaan, awak paling strict dalam urusan bermain-perompak ini.

Pendekatan berbeda dalam perpisahan Sanji dan Zeff masih cukup emosional, yang entah mengapa selain tetap memuaskan dengan caranya, juga justru bikin saya senang ia tidak diadaptasi 1:1 — menyisakan ruang untuk epiknya momen yang sama di manga dan anime. Pendekatannya di sini pun terasa lebih cocok untuk penonton internasional. Meskipun saya rasa itu bakal lebih baik lagi bila diisi dengan pelukan erat-hangat terakhir antara keduanya, seraya berimbey air mata, selagi berkelebat flashback saat pertama Zeff memeluk Sanji yang juga momen yang sama saat dia menyelamatkan nyawa si bocah. Ah.

Perubahan-perubahannya setidaknya diikuti perangkaian antartitik yang rapi, terus menyiratkan adanya peningkatan per dua episode — selain memang cerita yang terus berekskalasi. Tren menanjak yang kelak, syukurlah, juga dipertahankan pada episode 7 dan finale.

mau bikin caption lucu soal Mihawk, tapi nggak ada deng, liat aja tuh tweet aktornya udah ngaco bat

(-) lainnya:

  • Akan lebih lucu (dan realistis) bila ditampilkan ngaco-nya Straw Hats berlayar di kapal saat kehilangan Nami — sekalian menegaskan krusialnya peran nama terakhir di kapal.
  • Ini harusnya jadi momen Sanji ikut mengobarkan sumpahnya, lebih mendalam pada motif mengapa ia gabung Luffy cs. Tapi ya udahlah. (Karena ini sebetulnya poin yang sama dengan poin (-) terakhir di episode sebelumnya)

(+) lainnya:

  • Transisi dari shot sepatu saat Zoro terkapar sekarat menuju shot sepatu Mihawk yang sedang rilaks di ruangannya Garp. Serial ini banyak menggunakan transisi mantap, ya ini, salah satu contoh saja.
  • Shahahaha!”
  • Shidiots!” whatever that means.
  • Yang dimaksud Buggy dengan dia punya mata dan telinga di mana-mana itu ternyata harfiah. Tai.
  • Ahaa, Stereooo!”
  • Sinematografi, terutama komposisi shot yang mereplikasi manga-nya, atau shot dengan angle/momen apa pun yang diikuti musiknya yang menyeruak masuk. Ya, ini poin terkuat di banyak episode.
  • Entah mengapa saya baru menyadari Koby (dan Helmeppo sampai taraf tertentu) bisa dibaca sebagai figur cucu yang diimpikan Garp. Betul, live-action selain me-refresh juga turut membantu orang lama macam kita ini mendapati ‘penemuan’ baru, seremeh apa pun.
  • Zeff muda membawa berbagai bumbu ke mana-mana layaknya amunisi. True captain of Cook Pirates.
  • Tough love-nya Zeff setidaknya cukup tersampaikan.
  • Saya kerap melewatkan dialog-dialog mantap, kadang baru ngeh pas rewatch, semisal “Quitting is staying!” Dammit, Zeff. No need to attack me too.
  • Dihilangkannya Luffy vs Krieg, sekalian menarik Arlong ke sini, juga tak melulu negatif. Untuk pertama kalinya dalam serial ini, selain kekalahan Zoro yang merupakan canon, Luffy juga kalah. Jadi rangkaian dua episode penting untuk menunjukkan kalau Straw Hats tak terus-terusan menang petantang-petenteng sampai ke Grand Line.

[Artikel selanjutnya: Ulasan OPLA Episode 7&8]

--

--