Ulasan One Piece Live-Action Episode 3 & 4

Benji
10 min readSep 11, 2023

--

[Artikel sebelumnya: Ulasan OPLA Episode 1&2]

Episode pertama yang penuh eksposisi kelewat basbesbasbes untuk saya, tapi episode keduanya mulai lepas landas. Yang pasti terasa ada gairah, dan keseriusan [serta budget] di sana. Saya lantas mulai menonton dua episode One Piece Live-Action per hari, demi mudahnya penyerapan, juga karena struktur serial yang memecah tiga arc di East Blue saga (sehabis Orange Town — minus Loguetown) ke dalam dua episode, masing-masing ditangani sutradara berbeda.

sumber: tweet saya sendiri

Kesan pra-nonton (dari orang-orang di internet): lambat, least favorite episodes, banyaknya shot close up. Bahkan mulai muncul perbandingan antara sutradara dua episode ini, Emma Sullivan dengan sutradara dua episode awal (Marc Jobst).

Kesan setelah nonton: ah elah, orang-orang rupanya hanya keenakan, inginnya dimanja terus. Konsumen bukanlah raja (fak monarki!). Apalagi bila takes sembrono semacam ini berangkat dari kebiasaan buruk fandom yaitu membanding-bandingkan apa saja. (Lah, malah marah-marah sendiri, sorisori intrusive thought/overreact-atas-overreact.)

Bukannya mau menentang opini soal pacing maupun preferensi least favs siapa pun, karena bisa jadi untuk poin kedua, saya sepakat. Masalahnya bagi saya, problem-problemnya bukan di sana. Banyaknya gambar close-up atau penggunaan lensa fisheye dengan latar yang di-blur nyatanya tidak cukup mengganggu. Selain itu, saya percaya serial TV tak mesti menginjak pedal dalam-dalam setiap saat.

Episode 3 — “Tell No Tales”

Daredevil butuh episode di mana dia terkapar doang di rumah sakit, Cowboy Bebop butuh banyak Spike Spiegel ga ngapa-ngapain di antara pertarungan fisik dan psikis, adaptasi anime memerlukan sejumlah filler, dan canon One Piece sendiri alias manga-nya butuh arc Long Ring Long Land, perlu permainan konyol macam Davy Back Fight.

Dua episode, Tell No Tales (nod untuk Dead Man Tell No Tales?) dan The Pirates Are Coming jadi ruang bernapas serial. Dengan tone yang melambat, keduanya menampilkan pengecilan skala dari drama tualang perompak jadi drama heroik-rumahan, kisah perekrutan Usopp (Jacob Romero Gibson) dari battle di tebing-tebing-apaan-tau di Syrup Village diringkas langsung menuju poin dalam mansion milik Kaya (Celeste Loots).

Pengubahan utama yang paling terlihat, selain munculnya cameo hewan-hewan yang dilindungi Gaimon, tak lain ialah desain set mansion Kaya. Di sini, jadi soal interiornya yang tampak all-out. Dengan struktur bangunannya, semarak dekor yang mungkin menimpan sejumlah easter eggs, kloset pakaian yang tampak meriah, dapur bertingkat, dan seterusnya. Masih dapat ditemukan Syrup Village yang kini kian menyenangkan untuk dilihat desainnya, serupa desa-desa/kota kecil Eropa medieval (saya ngasal aja ini, maklum seumur hidup gak pernah keluar dari negoro kecintaanmu ini).

Alterasi berikutnya, tentu dari pandangan fan lama (ey, semua artikel ini dari perspektif fan lama): perubahan karakterisasi Klahadore/Captain Kuro. Kehadiran duo awak perompak pimpinannya, Buchi dan Sham, memang jadi lebih baik ketimbang dalam manga-nya, tetap jadi bagian perencanaannya. Namun satu hal lain bikin efektivitas perencanaan sang kapten Black Cat Pirates berkurang: absennya Jango si hypnotist.

Saya nyaris lupa sepenuhnya peran besar Jango di arc ini (trims untuk user hengky dari discord dot com yang mengingatkan). Untuk beberapa alasan saya malah lebih ingat dia, bersama Fullbody, jadi simp/slave-nya Hina.

Ini adalah villain paling menacing pertama dalam cerita. Karakter yang bukan main satset tapi juga cerdas, dengan perencanaan mendalam—Kuro si ratusan rencana. Perubahan julukannya jadi Kuro “si ribuan rencana” dalam serial sama sekali tidak memperbaiki keadaan, malahan kini terkesan ngadi-ngadi.

Plotnya memang tak ubahnya kisah perebutan harta/warisan khas opera sabun, tapi keunikannya jadi jauh berkurang tanpa Jango.

Padahal Alexander Maniatis sebagai Kuro sama menakutkannya dengan aslinya. Malahan dengan dimensi kengerian yang berbeda, setidaknya sampai penulisannya melempar dia ke dalam trope villain yang oportunis semata, dengan brute force di ujung perencanaan yang katanya super-matang (kombinasi yang janggal, tapi kepalang berubah karena absennya Michael Jackson-nya One Piece).

Yang lebih menjengkelkan tentu melempar Zoro ke sumur. Plotnya memberi Black Cat Pirates peluang sebesarnya untuk menghabisi Zoro, tapi tak dilakukan. Malahan mereka menganggap dia sama matinya dengan Merry (saya masih mixed feeling soal ini, karena ini justru memperkuat satu momen pada episode berikutnya).

Ini lantas memperbesar peluang untuk mencap penulisan Kuro sebagai miskarakterisasi; ganti ajalah julukannya jadi Kuro “The One Plan” atau Kuro “‘The Man with No Plan B”. Diikuti pula dengan plot armor (yang tak selamanya berkonotasi negatif) untuk Zoro yang jadi terasa kelewat kentara, yang kini mengesankan penulisan yang malas.

Belum lagi soal absennya tiga anak kru Usopp Pirates: Ninjin, Piiman dan Tamanegi (mungkin muncul sebagai easter eggs? entahlah). Lebih lanjut soal poin ini akan saya pencarkan ke tulisan.

Pengubahan lainnya rada memberikan mixed feeling-tapi-bisa-diterima, yakni berubahnya proses penamaan kru bajak laut pimpinan Luffy yang kini diserahkan pada sang kapten (saat itu masih captain-wannabe). Ini salah satu penyesuaian dalam karakterisasinya, mengingat canon Luffy tak begitu peduli soal nama (CMIIW, sepanjang yang saya ingat, krunya pun tak pernah menyebut diri Mugiwara/Straw Hats Pirates). Audiens lama pun baru mengetahui nama ini setelah puluhan atau ratusan chapter/episode, tatkala seseorang dari Marine mulai menyebut kru itu dengan nama Mugiwara/Straw Hats. Sisi baiknya, selain mempertegas kesan Luffy yang lebih self-aware lagi, juga menguatkan inspirasi dari panutannya, Shanks, dengan menamai kru sesuai ciri kaptennya — rasanya mendinganlah ketimbang menamai kru dengan nama kapten seperti Alvida Pirates atau Usopp Pirates (walaupun bukan pirates betulan).

Satu perubahan positif paling mengemuka yakni adanya ikatan sedari mula antara Luffy dan kapal kesayangan kita semua: Going Merry. (Saya tidak sedang melebih-lebihkan ketika bilang “kesayangan kita semua”.) Lagi-lagi sejauh yang saya ingat, bukan lagi sekadar kapal pemberian ditambah unsur keputusasaan saat tak adanya pilihan lain seperti dalam manga. Di sini, Going Merry dipilih karena Luffy benar-benar menginginkannya sejak pertemuan pertama.

Poin-poin plot yang mengganjal itu pun tak cukup bikin saya “off”. Perubahan set dan suasana yang berfokus di Kaya’s Mansion cukup untuk memenangkan minat, secara umum bikin rileks menikmati Syrup Village versi ringkas ini — meski dengan banyak catatan. Dialog-dialognya pun tetap kohesif, penuh one-liner menohok yang disampaikan dengan tepat.

Andai saja disertai penulisan plot yang sedikit saja lebih rapi, atau ‘rajin’, saya tadinya sudah siap menyatakan versinya yang ini bahkan lebih baik dari manga-nya.

Itu bukan pakaian betulan, btw (info trivial)

(-) lainnya

  • Absennya kru Usopp Pirates menjadikan sematan panggilan “Captain Usopp” kini terasa hampa, kalau bukan bikin dia jadi makin pathetic — mengingat laki-laki muda dewasa sepertinya masih playing pirates seorang diri. Baik julukan itu datang dari dia sendiri maupun ejekan dari warga sekitar, Usopp jadi terdengar makin halu.

(+) lainnya

  • Den Den Mushi versi ponsel/earpiece batuk-batuk kecil (karena tubuhnya juga kecil) saat terendam air laut.
  • Selain Klahadore-nya Maniatis, casting sekaligus akting lain yang menonjol ialah Kaya-nya Loots, memberikan karakter ini wajah distingtif tapi juga akurat, setelah di manga-nya tampak seperti gambaran default perempuan oleh Oda.
  • Bogard, yang entah alasan apa jadi favorit sebagian fans, dalam tiga episode kini telah dikaruniai banyak lines ketimbang di manga (saya tak ingat apa dia pernah angkat bicara, Oda pun bahkan kayaknya tak ingat dia punya karakter bernama Bogard.)
  • Growth Koby yang hanya jadi cover story di manga, kini dikedepankan. Saya baru menyadari pada titik ini bahwa dia dan Garp terhitung karakter utama dalam live-action ini.
  • Selipan musik, baik score perkusif (lupa bagian apa, ada lah pokoknya), maupun lagu tema Usopp, yang juga berbagi kesamaan motif dengan anthem Going Merry, jadi salah satu komposisi favorit saya. Serial ini mungkin tak akan pernah sampai ke Dressrosa, tapi dipanggil kembalinya komposisi ini pada momen tertentu di Water 7 (tentunya bila ia sampai ke sana), mestinya jadi momen yang transendental.
  • Flashback masa kecil Usopp tak banyak, tapi dihadirkan dengan transisinya menuju Usopp hari ini sudah mantap. Baru lebih nampol pas saya rewatch. Damn.
  • Interaksi panjang Nami dan Kaya, pendalaman untuk keduanya, karakter-karakter yang datang dari kutub berbeda.
  • You ever had dragon? | Nope. (Inikah bentuk foreshadowing di sini??)
  • Nami milihin setelan pakaian untuk Zoro (mungkin juga Luffy), detail kecil yang seinget saya pernah ada di SBS (edit: SBS vol 37). Tanpa dia, Luffy mungkin akan pake apa aja (atau nggak pake apa pun kayak Helmeppo), dan Zoro bakal seterusnya pake kaus distro era 2000-an seperti di gambar paling atas tulisan ini.

Episode 4 — “The Pirates Are Coming”

Penceritaan (berbeda) pada episode sebelumnya, tentu berekskalasi di sini, dalam drama yang pekat pula intim sekalian mempertemukan beberapa storyline usai pengenalan melimpahnya karakter.

Source material-nya tidak rumit; Kisah Klahadore aslinya cukup cheesy, lagi mudah diprediksi. Namun dengan muara penceritaan yang tak diutak-atik lebih lanjut, ditambah penyutradaraan dan pendekatan cemerlang dari aktor-aktornya, ia jadi tetap memikat — minimal, layak diikuti.

Secara umum, dua episode ini jadi penyegaran, nyaris terasa seperti kisah yang baru untuk saya. Sebabnya, saya sudah sedemikian lama tak membaca ulang arc Syrup Village, yang berujung dengan melewatkan poin penting bagi mereka yang ingat [orang-orang di internet, juga user hengky dari discord dot com]: bahwa di sini Usopp gagal jadi bintang dalam arc seputar dirinya sendiri.

Selain minimnya aksi tempur dari Usopp (hanye lari-lari tu laah) pembacaan saya untuk kesimpulannya di sini tak jauh berbeda dengan canon: bahwa Usopp tak tega meninggalkan Kaya, ingin terus mewarnai hari-hari teman(?) terbaiknya dengan cerita-cerita ngibulnye.

Mengenai Usopp juga, yang baru saya ingat lagi belum lama ini, bahwa dia sendiri tidak memberikan kesan yang sama positifnya dengan seluruh awak Straw Hats kala bergabung. Kesan saya sendiri dulunya tak begitu positif. Entahlah, belasan tahun lalu pikiran saya belum berkembang sepenuhnya, (sekarang juga kayaknya belum [jahh..]). Namun Usopp yang suka bohong, ngarang-ngarang cerita, dengan motifnya di balik itu semua sudah cukup buat saya. Adapun setelah melihat beberapa video reaksi serta diskusi mereka yang baru mengikuti manga/anime One Piece, bisa ditemukan konsensus bahwa Usopp bukanlah karakter yang likable mulanya.

Barulah di kemudian hari penceritaannya mengalami perkembangan pesat. Bersama Nami, Usopp jadi yang ‘paling manusia’ di antara kru Straw Hats yang berisikan para monster. Tumbuhnya dia adalah tumbuhnya manusia, meski kelak, mild spoiler, dia menjelma kesatria pemberani bahkan god.

Serial live-action ini tampaknya mengurangi unlikable-nya Usopp dulu, tapi juga tak sontak mengubahnya langsung jadi likable; masih rada di tengah-tengah lach. Bagian terbaik perubahannya, barangkali, bahwa kini dia punya pekerjaan di galangan kapal keluarga Kaya. AFAIK, Usopp dulunya hanya pemuda nganggur yang main pirate-pirate-an dengan bocil sekitar. Betul, ini kegagalan World Government dalam menyediak — ah, itu urusan lain lagi.

Backstory Zoro kecil yang menyelingi episodenya-Usopp-yang-bukan-episodenya-Usopp berupa flashback bersama Kuina ditampilkan cukup mengesankan— kendati terasa tak digali lebih lanjut. Yang jadi masalah justru penempatan sekuens tersebut dalam episode ini, alih-alih pada momen yang lebih krusial seperti saat duel dia melawan Mihawk di episode selanjutnya. Masalah lainnya, tentu saja karena kemunculan backstory itu diawali ‘penulisan malas’ pada episode sebelumnya. Dua poin yang kemudian hari saya terima, atau… dak tau ngapelah. Dua poin yang sama lantas cukup ‘tertutupi’ dengan swordmanship Zoro yang menjejak (sudah sejak episode pertama), termasuk Zoro kecil dan Kuina yang betulan berpedang, alih-alih jurus besar diikuti jurus besar lain laiknya di manga/anime-nya.

Pertarungan pemuncak Luffy kontra Kuro berlangsung nggak lama, sebagaimana seluruh pertarungan di serial ini. Koreo dan pilihan angle gambarnya cukup menghibur saya yang bukan fan #1 fighting/battle (plz tell the world to stop the war!) — saya rasa juga tak ada orang yang benar-benar melanjutkan membaca/nonton One Piece karena fight scene-nya. Bila mungkin untuk ditingkatkan, itu bisa soal menempatkan jeda untuk perkembangan dalam pertarungannya, semisal memberikan tampilan yang lebih gamblang, menunjukan proses berpikir bagaimana Luffy menjelma seorang genius untuk urusan membaca dan mempelajari situasi-situasi dalam kelahi.

Yang terbaik, juga melanjutkan dari episode sebelumnya, tak lain perkara “ikatan” sedari awal Luffy dengan kapal Going Merry. Bukan sekadar pemberian, tapi karena dialah yang memilihnya. Luffy barangkali merasa sefrekuensi dengan kapal ber-figurehead kepala domba, sama-sama tidak pirate-y. Adegan pemberian nama yang mengikutinya pun lalu jadi sentuhan yang baik dalam penulisan— meski di lain sisi kudu mengorbankan Merry yang orang.

Drama yang lebih intriguing (meski tidak sempurna), ruang bernapas yang segar — simpulan untuk dua episode ini — memakan ‘korban’ lain, jadi kian tipisnya humor. Satu yang paling menonjol, yakni gag perkara Zoro yang sering nyasar, yang saking subtilnya, kelihatannya sama sekali bakal terlewatkan oleh banyak audiens baru.

Lebih lanjut menyoal toned-down-nya humor dalam live-action, itu saya rasa karena Owens dan Maeda (atau siapa pun di tim penulisan) bukanlah penulis komedi — saya meyakini bahwa penulis dan sutradara komedi (yang lucu) adalah semacam different breed. Alasan lainnya, sebagian besar jokes maupun gag dalam One Piece tak bakal bisa diterjemahkan atau mendarat dengan sempurna ketika dibawakan manusia betulan.

Mensubstitusi gaya lelucon slapstick, saru, atau apa pun itu yang bergantung pada luwesnya medium animasi dengan gaya humor lain yang spesifik juga berpotensi dipandang sinis khalayak, lebih-lebih die hard fans One Piece sendiri. Mengisi kekosongannya dengan humor marvel-esque (kalau hal semacam itu eksis), jadi pilihan aman untuk kalangan luas. Menyelipi dengan celetukan-celetukan one-liner yang edgy/sigma-man dari Zoro, seraya tetap menyertakan buta arahnya orang ini sudah cukup pantas.

Keseimbangan (yang juga relatif bagi setiap orang) sebagai gol yang hendak dituju para kreator pun setidaknya berhasil didaratkan.

saking meyakinkannya Kuro di sini, saya kadang bertanya-tanya apakah penunton baru bisa tanggap menyadari kalo dia pake jas/suit berbordirkan gambar tahi

(-) lainnya:

  • Dalam canon, Kaya masih memiliki Merry dan trio kru Usopp Pirates sekalipun ditinggal butler beserta dua kroninya, DAN Usopp. Sekarang dia tak punya siapa-siapa. DAMN. (Oh, Kaya setidaknya masih punya kekayaan.)

(+) lainnya:

  • Ya itu, Usopp ternyata nggak nganggur. Kerjaannya itu sekalian menjelaskan skill pertukangannya (atau bersih-bersih kapal dari teritip).
  • Usopp sedari awal menyebut Luffy “my other, other best friend”. Akan jadi lebih baik andai saja di episode berikutnya dia juga tidak menyebut Mihawk “my new best friend” (meski mungkin karena kobam aja).
  • Zoro kecil & Kuina. Pembawaan yang berbeda ketimbang versi anak-anak Straw Hats lainnya, mungkin juga karena dibawakan aktor-aktor remaja Maximilian Lee Piazza dan Audrey Cymone. “There was an accident” tanpa penjelasan itu justru terasa mendingan daripada alasan tewasnya Kuina di manga.
  • Dinamika relasi Koby dan Helmeppo. Suguhan baru untuk fans lama, yang disusun cukup saksama. Kemunculan mereka di Syrup Village pun, selain karena tuntutan sebagai main plot yang membayang, jadi terasa tak begitu janggal.
  • Ekspresi masing-masing Nami, Zoro, dan Luffy saat adegan Usopp ciuman. Luffy bukannya kaget melihat Usopp ciuman, melainkan karena Usopp mendaku diri kapten. Detail penting bagi penulisannya keseluruhan atau bagi yang meyakini bahwa dia aseksual.
  • Kemunculan “We Are!” seraya Going Merry terkembang layar. Penyertaan komposisi ikonik Kohei Tanaka ini ke dalam score akan jadi kejutan bagus (pula bikin nangis) andai saya nonton serial ini secepatnya. Sayangnya, pada hari rilisnya itu saya supersibuk dengan kegiatan-kegiatan superpenting seperti mengunjungi Going Merry betulan dan mendengarkan seluruh soundtrack serial ini (jadi udah kagets duluan).

[Artikel selanjutnya: Ulasan OPLA Episode 5&6]

--

--