[Artikel Sebelumnya: Ulasan OPLA episode 5&6]
Makin menanjaknya serial jelang akhir juga berarti meningkat kesenangannya. Terlebih dua episode penutup arahan sutradara Josef Wladyka, mengkover arc yang jamak diakui sebagai yang terbaik di East Blue saga: Arlong Park.
(Favorit pribadi tetap Baratie, karena itu arc terakhir di saga ini yang saya baca ulang, demi menggambar posternya — tentu bisa berubah sewaktu-waktu.)
Kali ini kesenangan menjelang episode baru, kesenangan ketika adegan-adegan pertama muncul pasca TUDUM, juga diiringi kemasygulan karena ini bakal segera berakhir. Siapa yang tahu entah kapan season keduanya bakal tiba. Mestinya tak bakal mencapai 7 tahun seperti proses season pertama ini, tapi siapa juga yang tahu kapan skripnya bakal jadi (seusai para bos industri memenuhi tuntutan penulis, aktor, dan kru)?
Opening theme (“Wealth Fame Power”) garapan komposer Sonya Belousova dan Giona Ostinelli kini benar-benar sudah melekat di benak, spesifiknya, motif ascend-nya Luffy yang jadi nadi musik saban serial bermulai. Meski mulanya saya rasa terlalu generik, hurdy-gurdy menuju simfonik megah yang mudah diingat sejujurnya bukan pilihan buruk untuk serial populer seperti ini.
Episode 7 — The Girl with the Sawfish Tattoo
A nod for The Girl with The Dragon Tattoo?
Masih ada Buggy sampai penghujung seri. Untungnya, dia sering muncul bukan karena memang mesti sering muncul saja, tapi lantaran kekuatan dan polah si badut diberdayakan dengan baik ke dalam naratif.
Dan ia menyanyikan sea shanty karangannya sendiri.
Ulah Buggy sebagai comic relief sukses tereksplorasi. Mungkin bakal lebih menggelikan lagi bila kepalanya berteriak-teriak random semasa berlayar dengan Straw Hats — mengingat tubuhnya digantung di wahana shooting game di Arlong Park, seperti ada kans untuk jadi kian komikal andai tubuh terpisahnya itu ditembak-tembakin para fishmen. Peluang lain yang dilewatkan: mestinya kepala Buggy yang ditenteng Sanji ke mana-mana ngakak saat mendengar Nami menyebut para kru Straw Hats sebagai clown.
Cukup soal Buggy.
Rivalitas Zoro dan Sanji sudah dibangun sejak penghujung episode sebelumnya. Lantas ‘dipercepat’ lagi, segera jadi dinamika relasi keduanya. Dipikir-pikir, dalam canon-nya, Oda sendiri baru ‘menemukan’ dinamika macam ini setelah seratusan chapter (Little Garden Arc). Mungkin belum cukup untuk membangun rivalitas antara fans Zoro dan fans Sanji versi OPLA laiknya fans keduanya versi manganime yang telah berlangsung menahun, tapi fondasinya sudah ada di sana. Sanji sudah mengatai Zoro mosshead (marimo), yang sayangnya, tak bisa dibalas dengan “diam kau alis lengkung!”
(Dalam canon, Sanji punya sederet hinaan kocak terhadap Zoro. Sayangnya, yang terakhir punya salah satu panggilan/hinaan balik yang sulit ditandingi: ‘Pirate A’.)
Tak banyak perubahan soal penceritaan di Coco Village, sejauh yang saya ingat. Arlong tetap meminta upeti dari warga desa, masih nyuruh-nyuruh Nami bikin peta.
Mengalahkan Arlong sebagai gol di ujung season, alih-alih menjejalkan arc Loguetown ke sini, jadi pilihan masuk akal. Sebabnya tak lain, Arlong merupakan sosok dari golongan termarjinalkan yang kemudian hari berubah jadi penindasnya— villain ‘besar’ (atau fasis aja), related dengan iklim sosial dunia nyata, dengan motif paling mendalam-mengakar pertama dalam One Piece.
Genzo dan Bell-mère ditampilkan dengan layak oleh para aktornya masing-masing — kendati terdapat cukup banyak perubahan/pengurangan peran keduanya. Begitu pun Nojiko, meskipun perubahan penulisannya rada berlebihan — dia tak bakalan meludah di hadapan Nami. Tapi, ya udahlah.
Backstory Nami diselipkan dengan rapi, selang-seling menyusup ke timeline terkini. Peluang untuk menampilkan flirty-nya Sanji pun berhasil dimanfaatkan lebih jauh, dirangkai ke plot dalam upaya negosiasi dengan Nojiko. (Sekalian jadi paralel di saat yang sama, Zeff nawarin makanan ke Garp.)
Para fishman bawahan Arlong tampaknya tak punya banyak kegiatan usai jadi penguasa East Blue. Asik nongkrong, chill banget di Arlong Park diiringi score hip-hop/rap/trap/whatever, yang dalam episode ini berdesir bergantian dengan lagu tema Nami yang dinyanyikan Aurora Aksnes — sebabnya, inilah waktunya menguliti dalam-dalam backstory sang navigator.
Selebihnya, plot (atau poin-poin plotnya) berjalan sebagaimana mestinya sampai momen ikonik ‘Walk to the Arlong Park’. Arc Nami jadi penuh, jelas lebih terasa ketimbang arc-nya Usopp dan Sanji. Dan untuk pertama kalinya, serial ini berhasil bikin air mata stoic ini tumpeh-tumpeh.
(-)
- Di sela-sela air mata tumpeh-tumpeh itu, ada kelakuan Luffy yang alami dalam manga/anime (yakni berteriak-teriak “Of course I will!”), yang malah jadi cringy di live-action, apalagi di momen yang mood-nya melodramatis.
- ‘Walk to Arlong Park’ yang kelewat sebentar, diganti dengan nonton kebakaran. Paling nggak, masih ada suasana serupa “Overtaken” dalam musiknya.
- Akan lebih emosional lagi bilamana Nojiko kecil menemukan Nami bayi disertakan, atau motif tambahan mengapa sang kakak turut merajah tangannya. Tapi keduanya lebih ke poin-poin di canon yang dimodif/ditinggalkan di sini alias it is what it is.
- Penulisan untuk Bell-mère, spesifiknya saat momen penggerebekan oleh Arlong. Seperti ada bagian yang dilangkah, yang kurang dari naskah, lantaran itu dilakukan Bell-mère bukan karena dia bodoh/gegabah mengakui punya dua putri di saat momen berbahaya, tapi justru karena ia bangga mendaku ibu untuk keduanya. (anw, this fukin’ story, man..)
(+) lainnya
- Nami kecil (Lily Fisher). Rata-rata Straw Hats versi anak-anak tampil menawan, tapi untuk sejumlah alasan, Nami kecil bisa dibilang terdepan. And damn, she drew way much better map than me.
- Makeup, prostetik para fishmen yang eksepsional. Sekalipun ini bikin sebagian dari mereka kepalanya jadi tampak lebih besar.
- Arlong-nya McKinley Belcher III. Meski kepalanya jadi tampak lebih besar, itu sepenuhnya bisa dilewatkan berkat pembawaan seram, vokal yang dalam menggema dari sang aktor. Oh ya, 1–2 bulan jarak antara trailer dan rilisnya, tampaknya digunakan tim produksi untuk mendengarkan keluhan fans dan menjadikan Arlong jadi lebih gede.
- Pertemuan Garp dan Zeff (dengan Bogard berdiri cool di belakang). Tiba-tiba jadi momen unik dan segar, karena yang satu mati-matian melarang Luffy jadi perompak, dan yang lain ialah perwakilan generasi tua yang menitipkan semangat dan impiannya pada generasi berikutnya. Ini sekalian menjelaskan reputasi Zeff dulunya, tapi bisa juga jadi poin minus karena malah memberikan lubang dalam cerita dan dunia: bahwa marine bakal membiarkan pirate dapat pensiun dan hidup tenang.
- Sederet hints Zoro (akhirnya) berlaku sebagai first mate: 1) menahan Luffy untuk tak — terlalu cepat — ikut campur, 2) “Pirate… Hunter”, dan 3) menanyai motif mengapa Luffy bisa memercayai Nami, sembari kongko di atap rumah orang.
- Momen yang sama dengan cepat mengupas layer pada karakteristik Luffy di balik fasad simplistisnya.
- Emily Rudd.
- Momen “Help Me”. Seperti icing on the cake sebetulnya, karena momen sebelumnya saat tabungan Nami dirampok sudah bikin saya pengin menghajar wajah tolol Nezumi dan merontokkan gigi Arlong (sekalipun peluang sy bakal mokat jauh lebih besar).
Episode Finale — Worst in the East
Straw Hat Pirates mesti menghadapi “the worst” di East Blue, dan lantas menjadi worst in the East Blue betulan. Arlong jadi final boss usai secara bertahap Luffy cs. mengalahkan mereka yang bounty-nya naik bertingkat dari Alvida, Buggy, dst. (skip Don Krieg).
Tanpa Hatchan alias Hachi di kubu Arlong, peta pertempuran berubah, dan pastinya bakal mengubah cerita kelak di Sabaody (kayaknya sih nggak bakal nyampe sana). Barangkali kelewat sulit, atau budget sudah ngepas untuk desainnya (tadinya saya membayangkan bakal dengan CGI seperti para awaknya Davy Jones di Pirates of the Caribbean).
Pertarungan dipenuhi dialog setiap kelahinya, alias makin campy, mungkin juga jadi padanan terbaik di live-action untuk sematan wacky-nya One Piece. Berlangsung tak lama seperti yang sudah-sudah, dan memang bukanlah masalah. Lagipula fight scene yang mantap, sependek apa pun durasinya, tak pernah benar-benar butuh waktu yang cepat untuk dirancang.
Perubahan Luffy yang tadinya kalah dalam ronde pertama kontra Arlong di Baratie, setidaknya dijelaskan: dengan lebih banyak jurus, sekalian pengalihan perhatian dengan menghancurkan pagoda, dan pastinya dengan kemarahan-semangat untuk merebut kembali teman mereka. Cekcok antara Zoro-Sanji juga kian disorot, kini diselipi poin lainnya (kalau saya nggak salah nangkep) yang lebih mengakar bahwa keduanya sebetulnya sangat percaya satu sama lain.
Bak-buk-bak-buk diikuti dengan pesta sehabis kemenangan, salah satu bagian favorit saya dalam One Piece medium apa pun, yang juga sayangnya tak lama, karena dibubarkan Garp.
Tadinya saya hendak berpanjang-panjang lagi soal perubahan penulisan Garp. Namun sebagaimana di banyak titik sebelumnya, pengubahan naratif serial ini ujungnya tetap membulat. Karakter sang kakek memang telah berubah, dengan fasad berbeda semacam boomer yang punya anger issue. Namun yang terpenting, di samping menjadikan dia antagonis membayang sekaligus melampaui setiap villain di East Blue, sang vice admiral sejauh ini ternyata tetap memegang prinsip yang sama dengan Garp di manga.
Ini masihlah Garp yang sama pada esensinya. Jejak kekonyolannya yang ditekan pun sebenarnya pun masih bersisa. Dia masih berlaku seenaknya, dengan memanfaatkan statusnya sebagai Hero di Marine. Kelahinya dengan Luffy pun jadi lucu, (kecuali bagi Luffy, pastinya). Bahwa orang ini memicu segala ontran-ontran hanya demi mengetes cucunya, bahkan sekalian mengetes Koby. Setelah bagaimana perubahannya ditulis dan dimainkan dengan meyakinkan oleh sang aktornya, “have it your way” pun jadi cukup.
They had us in the first half, not gonna lie.
Kesuksesan lain serial ini tampil jelang akhir: ia berhasil membuat setiap pertemuan Luffy dan Koby jadi senantiasa menarik. Saya memang mengkritisi absennya momen emosional perpisahan keduanya dalam ulasan episode 1 & 2, tapi kini digantikan momen yang lebih intim. Dipanggul akting yang sangat-Koby dari Morgan Davies (ya, dia selalu jadi salah satu penampil terbaik dalam serial sejak awal), ekspresinya saat bilang ke Luffy “you’re a wanted man” itu top-notch — demikian juga sepanjang momen perpisahan itu. Seperti ada rasa bangga tertahan, bittersweet campuraduk, sebagaimana mestinya kawan pertama Luffy di lautan yang kini harus berpisah jalan. Sekuens yang sama ditutup momen Luffy-nya Iñaki yang jadi kesukaan saya: ketika dia mencoba meniru posenya sendiri di poster buruan.
Rangkaian sekuens momen wholesome sukses menutup setiap plot dan subplot, mengakhiri season dengan suasana feel-good. Saya sendiri bahkan tak menyangka, air mata bakal menitik tatkala melihat Luffy mendapati jolly roger-nya (yang lebih layak, digambar Usopp si bang multitalent) terpampang di layar utama Going Merry. Semacam hadiah dari para awak, token untuk kru bajak laut yang akhirnya ‘jadi’, persahabatan selamanya yang baru mulai memadat.
Keharuan lainnya menyeruak, tetap menyergap sesiap apa pun saya, tatkala ‘barrel moment’ disertai selingan klip dari versi anak-anak para Straw Hats menyebutkan impian masing-masing. Dan “I’m Gonna Be King Of The Pirates” menyatu sempurna dengan “We Are”. Fak.
Air mata itu bisa datang dari mana saja; momen crescendo terbentuknya kru; kesedihan akan akhir tontonan menyenangkan; kelegaan karena kekhawatiran menggunung saya tak terbukti; testament untuk keseluruhannya yang tampil sangat layak, dan tak merusak.
They made it, they really made it.
(-) lainnya
- Digantinya momen cukup-ikonik ketika Luffy bertanya “Siapa di antara lu yang nama’a Arlong?!” (kira-kira seperti itu), karena masuknya Arlong ke cerita kepalang diubah, dan pertanyaan itu digeser ke episode 6. Ya, nyari-nyari keluhan aja.
- Seingat saya hanya ada sedikit (tiga?) aksi yang melibatkan air. CMIIW, karena saya belum rewatch lagi episode ini selain bagian penutupnya. Tak ada kelahi bawah air sepenuhnya dari fishmen selain dari kroco-kroco dan Kuroobi nyemplung. Ini menjadikan fishmen, di samping motif Arlong, jadi sekadar ‘orang superkuat’.
(+) lainnya
- Gigi hiu Arlong.
- Delivery line “No.. puny human can bring down Arlong Park!” holy fak. *aplaus*
- Usopp dan Sanji beraksi lebih banyak, dengan porsi screentime yang cukup lah.
- Iñaki’s angry actings.
- Seluruh gum gum attacks.
- Motif komposisi “Wealth Fame Power” dan “I’m Gonna Be King of the Pirates” dalam segala variannya.
- Dasar kuat mengapa Garp akhirnya memilih melatih langsung Koby dan Helmeppo. Juga ihwal lulusnya Koby dalam ‘tes’ perkara moral dan sense of justice.
- Character development dan motif Helmeppo. Jika Zoro fanboy-nya Mihawk, maka dia fanboy-nya Zoro.
- Jelas, versi mini “From the Decks of the World” atau sorotan setiap orang yang pernah ditemui Straw Hats saat mendapati poster bounty-nya Luffy, diawali Makino beserta cameo oleh News Coo, diakhiri dengan..
- Pertemuan Mihawk-Shanks. Disertai klise kru bajak laut yang ngakak tiap denger jokes kaptennya. Setiap detik yang nikmat melihat sosok Shanks berkat penyampaian jitu Peter Gadiot, di saat frenemy-nya, Mihawk (yang juga memang selalu nikmat tiap kemunculannya) tampak rada merudok — padahal aslinya girang jadi ada kegiatan tuh ketimbang brooding gothly di kastil konyolnya.
- Rambut Smoker tampak keren.
- “Be a good marine”, mungkin tak bakal pernah diucapkan canon Luffy. Namun di sini, jadi bagus dan akurat, lagi-lagi karena ia mendapatinya dari Shanks.
We Ate Good
They made it, they really made it. And we ate good, nakamas.
Agustus 2023 (dan kini, September), jadi bulan-bulan terpenting dalam 26 tahun One Piece. Kendati bagi para pembaca manga-nya nyaris seluruh bulan juga bulan penting, tetapi bagi One Piece secara keseluruhan, ini jadi bulan-bulan — bahkan tahun — terbesarnya, paling krusial. Dan live-action, kepingan terakhirnya itu tampil baik.
Jelas lebih baik dari yang saya ekspektasikan, sekalipun ekspektasi yang tadinya minim (atau minus) itu sendiri terus naik, seperti yang sudah dituliskan di bagian pembuka artikel pertama.
Penulisan
Kritik untuk Matt Owens dan Steven Maeda sebagai showrunners sudah saya pencarkan pada setiap artikel. Konsistensi skripnya belum begitu terasa, semacam hit and miss. Namun pada akhirnya, tetap jadi tontonan yang koheren. Tak mudah untuk mengadaptasi liarnya One Piece, mengubah, memadatkan, sekalian membuatnya tetap membulat. Lalu, yang terpenting, merangkumnya jadi satu kesatuan, dengan cliffhanger yang bikin terpaku pada setiap ujung episode, serta membuatnya terasa menanjak menuju akhir season. Itu sudah lebih dari cukup, pantas diapresiasi — di lain sisi, tentunya membebani mereka ekspektasi lebih ke depannya.
Serial berdenyut rada acak, seringkali terasa kelewat cepat, salah satunya akibat pacing yang jelas lebih ringkas ketimbang manganime. Detaknya menyerupai The Sandman, kualitasnya bisa disetarakan dengan Wednesday, judul-judul adaptasi lainnya yang diproduksi Netflix — terutama untuk judul terakhir, dalam konteks mudahnya ia diterima khalayak luas. Kendati, konon, tak punya rekam jejak baik untuk live-action manga/anime, saya sedari mula justru menjadikan dua judul di atas sebagai patokan. Bahwa selama Netflix menunjuk orang-orang yang tepat untuk menanganinya, dengan dana mencukupi, kualitas-minimal-segitu bisa saja dicapai.
Ihwal perubahan naratif sudah coba saya rinci berulang kali. Garpkobymeppo sebagai plot utama membayang sekaligus paralel era baru Luffy-Koby sebagai penerus Roger-Garp juga pada akhirnya tetap berhasil menangkap, malah memperdalam masing-masing Garp, Koby, dan Helmeppo. Meski ke depannya, di season 2 bila ada, akan jadi lebih masuk akal menempatkan mereka kembali ke belakang, lantas memberikan porsi main characters untuk Crocoboy, Miss All Sunday, dan Miss Wednesday. Entah bagaimana kelak mereka akan mengeksekusi Karoo dan pastinya, Chopper. Yang pasti, kucurkan wang sebanyak produksi serial-serial MCU, hey Netflix! (pastinya setelah membayar penulis, aktor, dan kru dengan layak).
Anak-anak dan childhood (atau hewan yang mengesankan impresi serupa) jadi tema penting dalam One Piece — sebagian besar dari karakter jenis ini lazimnya sefrekuensi dengan Luffy (memberikan kedalaman lain karakterisasinya), biasanya juga vibing atau akrab dengan Nami dan Chopper. Ini yang sempat membuat saya sempat menyayangkan dipangkasnya penulisan Rika, direduksinya Chouchou dan absennya trio kru Usopp Pirates. Meski kini rasanya bisa dipahami, selain tak mudahnya mempekerjakan aktor anak, atau menampilkan plot dengan anjing CGI, tampaknya juga agar tak terkesan redundant lantaran terdapat elemen serupa yang lebih mendesak: menyelipkan backstory para Straw Hats dalam 8 episode.
Pembagian saga East Blue jadi dua episode per arc, bahkan satu episode untuk masing-masing Romance Dawn dan Orange Town, dengan segala pengurangannya pada akhirnya jadi rumusan yang ampuh.
Teknis
Urusan sinematografi tampaknya dirancang/dibagi per dua episode, mengingat Nicole Hirsch Whitaker disebut sebagai kepala DoP hanya untuk dua episode pertama. Mungkin menyesuaikan dengan pembagian arc dengan estetika lokasi yang berbeda-beda.
Benang merahnya yang terasa di seluruh episode, jelas komposisi shot yang mencoba mereplikasi manga dengan sudut-sudut yang tak biasa. Shots close up demi menyoroti emosi a la manga mungkin bikin awkward untuk sebagian orang, bukan saya. Penerapan split screen laiknya panel-panel komik, malah saya harapkan lebih sering lagi digunakan. Sesekali terasa adanya kontinuitas shots yang kurang sempurna ditangkap mata, juga bisa diabaikan.
Color grading-nya masuk-masuk aja, selain memang diperlukan untuk ‘menyatukan’ begitu banyak warna menyala yang kontras agar para karakternya tak terlihat macam sedang di comic con. Lighting-nya kadang kelewat gelap , apalagi di waktu malam (jahh). Tapi seriusan, saya lihat orang di internet mencoba ‘betulin’ pencahayaan di beberapa scene yang mana.. ehh, kayaknya mending gausah dibetulin. Yah, selama adegan-adegan besarnya berhasil digambarkan bobotnya, momen-momen di lautan berhasil tampak alami, tak ada/tak banyak komposisi mengganggu, transisi halus dan cameraworks tepat sasaran; sudah memuaskan bagi saya.
Ke depannya, saya jadi mengharapkan visual yang lebih edan lagi, ataupun lebih komikal(?) macam Scott Pilgrim vs. the World. Mungkin juga sekalian mengadaptasi bumper/eyecatcher seperti di anime, atau mereplikasi color spreads bagai manga (ya, ini keinginan yang rada ngelunjak).
Tak banyak yang saya soroti soal fight scene. Selain karena sadar akan pacing yang berbeda, juga rasanya tak ada tambahan selain yang sudah saya tuliskan pada episode Captain Kuro. Kelahi yang kelewat satset lagi terlampau panjang juga malah tak terlalu menyenangkan dilihat (untuk penonton seperti saya), dan tak semua adegan aksi mesti disorot dalam belasan cut dan angle seperti saat Liam Neeson melumpati pager.
Begitu pun special effect, baik yang digital maupun practical (makeup, prosthetic, animatronic) dalam menyampaikan elemen fantasi kisah ini — tak ada keluhan, asalkan semuanya tak terlihat janggal. (Selama kekuatan Buggy dan Luffy bisa ditampilkan dengan baik juga sudah jadi satu kesuksesan.)
Tanpa pernah saya singgung sekalipun, itu berarti departemen kostumnya sudah tampak cukup alami. Siapa pun tahu kerja-kerja mendesain pakaian yang setara liarnya dengan penggambaran manganime, sekaligus tetap praktis dikenakan, bukanlah kerjaan enteng. Yang paling tampak rada terpisah dari dunia ini, paling hanya Fullbody dan Gally di Baratie (dua-duanya pun hanya cameo bentaran).
Perkara musik dan score sudah saya angkat ke setiap artikel sebagai salah satu poin terkuat serial ini. Kinerja menawan dari Sonya Belousova, Giona Ostinelli, dan seluruh musisi yang terlibat.
Terhitung jari jumlah musisi ranah utama yang masuk ke kuping saya yang cukup toleran-tapi-juga-snobbish ini (oxymoron kah?). Namun mendapati nama Aurora selaku penyanyi lagu utama untuk dua episode puncak rasanya tak bisa lebih tepat lagi. Peduli amat liriknya rada basic, nadanya yang Disney-esque (lebih tepatnya sih cartoonsaloon-esque). Ini Aurora! Lebih menghipnotis ketimbang Jango. Lirik “my sails are set, and I’m coming home” barangkali akan — saya anggap — biasa-biasa saja bila dibawakan 98% musisi lain. Namun karena, ‘ini Aurora!’ wah, ini dia nih lagu yang tepat kala layar utama terkembang, selagi para berandal bernamakan Luffy, Zoro, Nami, Usopp, dan Sanji menemukan Going Merry dan kru ini sebagai tempat untuk pulang.
Membicarakan desain produksi, set, latar juga rasanya hanya akan berisi pujian. Terutama bila melihat digarap dengan seriusnya kapal-kapalnya (Merry, Love Duck, Red Force, hingga Baratie), maupun set desa/kota yang distingtif satu sama lain, pula mansionnya Kaya, tenda karnavalnya Buggy dan Arlong Park.
Akting & The Straw Hats
Dua nama mencuat jauh, jauh melampaui ekspektasi: Buggy-nya Jeff Ward dan Mihawk-nya Steven John Ward. Keduanya tampil pol, tapi juga punya spice (malas menjelaskan, keduanya dah dibahas di artikel² sebelumnya). Seluruh villain, terutama mereka yang dengan screentime tertinggi bakal jadi patokan ke depannya. Ketika kelak serial ini memasuki season ke-6, 10, 11 (angka-angka ngasal) dan para fans mendapati para villain-nya kurang mantap, bukan tak mungkin bakal muncul perbandingan dengan villain-villain di East Blue ini (yang notabene terlemah dari segi kekuatan).
Akting (dan casting) termantap juga mudah untuk dinobatkan kepada masing-masing dari Garpkobymeppo, Shanks, dsb. Semuanya sudah saya sederhanakan dalam tier list berikut. Tolong jangan dikomplain, karena saya begitu overthinking, ujung-ujungnya capek sendiri ngotak-ngatik tier list, yang mestinya bukan perkara serius.
Saya tak banyak mengangkat secara spesifik Iñaki Godoy, Mackenyu, Emily Rudd, Jacob Gibson, dan Taz Skylar karena beberapa faktor. Yang pertama, karena saya sudah membicarakan casting mereka jauh-jauh hari dalam video. Lantas berkembang jadi respons seperti tweet ini kala melihat setiap update proyek ini, jadi tak ada yang perlu diangkat lagi soal looks. Yang kedua, karena kesemuanya tampil decent, dan itu sudah lebih dari cukup, lantaran mereka-lah wajah yang bakal memanggul cerita ini, entah sampai berapa season. Mereka tak perlu sesinting Buggy, se-chewing the scenery-nya Mihawk.
Ini juga Straw Hats yang berbeda, dalam format terbarunya. Selain Emily dan Taz yang trait-nya cukup mencolok dan rada lebih mudah diterjemahkan ke dalam akting dunia nyata, sisanya masih menyediakan jejak-jejak subtil para karakter aslinya di sana; nuansa yang datang dari lines, mimik, cara berlaku sekecil apa pun. Sama sekali bukan tugas mudah, plus kini dibebankan imaji jutaan fans yang telah belasan-puluhan tahun mengikuti kisah ini. Bukan hanya soal mirip atau nggaknya, tapi juga mesti dalam satu paket dapat menyuarakan, bertindak, dan bahkan beradegan aksi sendiri (dengan bantuan stunt double tentunya, tapi kau bisa lihat sejauh mana mereka memerankan sendiri nyaris seluruh stunt dan fight scene).
Ada beberapa ekspresi dan shot Luffy-nya Iñaki yang kini melekat di dalam kepala (males ey, skrinsut satu-satu). Namun saat melihat-lihat video promo mereka, kadang saya pikir tingkah Iñaki dan Jacob lebih mirip canon Luffy dan Usopp ketimbang saat ngikutin skrip. Ke depannya beri lebih banyak ruang untuk improvisasi (selagi tetap diawasi Oda), mungkin? (Walaupun pendekatan ini belum tentu sukses juga, karena Oda sendiri banyak meloloskan lines dan adegan hanya karena dia suka bagaimana Iñaki membawakannya).
Kita Selalu Punya Manga, Anime, dan kini, Live-Action-nya
Menghadirkan One Piece yang sesekali tetap gore, segaris dengan manga-nya sudah jadi pencapaian. Begitu pun penyertaan skala kekuatan dan dunia yang tak dipaksa jadi kelewat grounded.
OPLA memadatkan ‘Straw Hats assemble’, gonjang-ganjing di awal pembentukan kru, kelahiran pertemanan yang kuat, selagi tetap bertahan pada apa yang membuat One Piece jadi One Piece. Di saat yang sama, menyajikan keseruan selagi memikul bobot source material-nya, sanggup berdiri di tengah sebagai ucapan selamat datang yang hangat untuk fans baru, sekalian memuaskan fans lama (hakim utama penentu kesuksesan serial ini).
Sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, ia tetap jadi suatu petualangan yang sanggup menyerap. Satu tontonan feel-good yang seakan jadi barang langka di belantara serial TV yang dipenuhi judul-judul terbesarnya yang gelap, snarky, distopian, kalau bukan depresif.
Ada komitmen, respek, dan kemauan melayani di sana, jadi sesuatu yang punya jiwa dan hati. Mengutip Cricket si kepala kastanye: This is romanticism!
Klaim Matt Owens bahwa tak ada orang di industri perfilman/TV yang lebih mencintai One Piece ketimbang dirinya di Hollywood sudah cukup valid, meski kini perlu dibuktikan lebih lanjut bila serial ini terus berjalan. Tugas yang mahaberat, meskipun saya juga yakin kecintaan pada One Piece bisa membuat orang melakukan hal-hal kurang sehat untuk dirinya, ambil contoh menulis ulasan panjang, tanpa bayaran apa pun, di sela-sela kesibukan pekerjaan yang juga menulis ulasan (dammit!).
Kembali ke mantra yang saya seret ke awal bagian satu tulisan ini, bahwa kita selalu bisa kembali manga-nya, selalu punya anime-nya kini bukannya tak mungkin perlu ditambahkan bagi sebagian fans: dan kita pun senantiasa memiliki live-action-nya.
Ketika saya menyebutkan bahwa One Piece sangatlah kaya, itu bukan sekadar ihwal worldbuilding masif dengan cerita dan tema mendalam, tapi juga impaknya. Saya bisa hanya membaca update manga-nya dua kali dalam setahun tapi tetap berkutat di sekitar judul ini selama berbulan-bulan sisanya, entah itu membahas kelanjutannya, mengingat yang dulu-dulu, menjadikannya lelucon, dan sesuai minat, menggambar apa pun yang terkait dengannya. Kehadiran live-action (yang baik) lumayan memberikan sesuatu yang pantas menyita perhatian, untuk lari sejenak dari kehidupan yang gini-gini aja nih ajg, sukur-sukur kalau turut mendorong agar kembali punya impian dan harapan.
Kehadiran live-action (yang baik) jadi hidangan tambahan yang menyenangkan. Lebih baik lagi, jadi salah satu hidangan utama yang meski tak keseluruhannya lumer di lidah tapi pada akhirnya tetap lezat dan mengenyangkan.
Untuk siapa pun yang terlibat proyek live-action ini, terima kasih telah menghormati. The Great Pirate era has begun, indeed.