Ulasan One Piece Live-Action Episode 1 & 2

Benji
14 min readSep 10, 2023

--

Pelan-pelan pak sopirrr. Bisa dibaca terlebih dulu bagian pembukanya yang berisi seputar proses proyek ‘mission impossible’ ini, juga dari mana kira-kira datangnya headspace dan penilaian dalam rangkaian ulasan ini.

codename opla: Project Panda

Behemoth bernama One Piece itu menjelma nyata.

Menjadikannya ‘nyata’, petualangan bajak laut yang berpusat di kru Topi Jerami karya Eiichiro Oda itu, bisa dikategorikan misi yang tak mungkin… sampai ia menjadi mungkin.

Terdengar bagai mission impossible memang, lantaran di samping besarnya skala dan anehnya dunia One Piece, tak lain karena rekam jejak adaptasi live-action dari manga/anime sendiri yang ramai dicap sebagai sejarah kegagalan. Tak perlulah namedropping banyak judul ke sini, sebabnya pasca Dragonball Evolution, saya sendiri rada kapok untuk mengikuti live-action sejenisnya. (Saya bahkan belum/tidak menyaksikan live-action Cowboy Bebop, selain karena presentasinya tak pernah meyakinkan, kayaknya self-protection aja sih mengingat statusnya sebagai salah anime favorit saya diikuti masifnya raungan negatif atas adaptasinya.)

Keanehan One Piece (lebih tepatnya, imajinatifnya) mestilah direngkuh sejak awal. Storyline yang larger-than-life. Kekuatan ajaib karakter yang tak kalah anehnya (sebagian telah dilakukan sederet film/serial superhero), hingga teknologi komunikasi yang bergantung pada semacam siput telepatis pula kertas mistis yang terbuat dari kuku manusia. Lalu, worldbuilding yang tiada banding, yang tak berhenti di eklektiknya desain dunia dan karakter, tapi juga ihwal bagaimana dunia terus berputar dan kehidupan bekerja dengan atau tanpa pengaruh Monkey D. Luffy dkk..

Di tengah ketidakmungkinannya, One Piece uniknya juga memberikan kesan bahwa ia sebetulnya bisa saja digapai berkat sifatnya yang ‘global’. Wajah-wajah dan tampilan karakter manga-nya universal, tidak terbatas pada desain/figur Jepang atau Timur Jauh. Lebih luas, orang-orang yang invested pada kisah ini pun global, datang dari berbagai lejuk dunia. Melepaskan proyek ini ke ranah internasional lantas jadi pilihan masuk akal. Akan ada lebih banyak orang dengan kecintaan lama maupun baru, tingkatan gairah yang berbeda-beda, mengusung kepiawaian masing-masing dalam menghadirkannya jadi nyata, dengan pantas.

Keanehan, keagungannya juga berekskalasi. One Piece tidaklah besar sedari mula. East Blue atau saga pertama dalam canon yang dikover serial ini terbilang masih dapat dicapai. Untungnya pula, ia baru digarap hari-hari ini, ketika capaian teknologi visual telah lebih memungkinkan.

hee boekan

Tantangan mahaberat berikutnya datang dari fans lama dengan ekspektasi (dan headcanon) masing-masing. Terlebih bagi fans anime-nya, yang imajinya akan dunia dan kisah ini telah lama terbentuk lantas terpatri. Satu wajah, satu momen, satu adegan, bisa diartikan ratusan atau ribuan gagasan berbeda dalam menampilkannya.

Bagaimanapun, ini peluang terakhir Oda menjadikan One Piece mendunia, tepatnya, lebih mendunia lagi. Untuk karya yang telah melampaui penjualan total judul Batman, dalam beberapa parameter ia sebetulnya masih bisa digolongkan niche, bila bukan underrated.

Beberapa langkah paling awal pewujudan live-action-nya, selain menempatkan ‘superfan’ (stempel dari Oda sendiri) seperti Matt Owens (satu di antara kita yang hidupnya diselamatkan One Piece) dan Steven Maeda (yang mendaku baru baca 100 chapter pertama) sebagai showrunners serial, ialah melibatkan dengan penuh kuasa fan terbesar One Piece sedunia, Oda sendiri.

Sang mangaka ditempatkan sebagai executive producer. Ia diberikan hak penuh sebagai orang yang punya keputusan terakhir, yang ia gunakan tak hanya untuk memerintahkan pengambilan gambar ulang bila dirasa kurang memuaskan (simak wawancara dengan sutradara episode 3–4, Emma Sullivan), tapi juga mendalam terlibat sebagai ‘guiding hand’ (simak wawancara dengan sutradara episode 1–2, Marc Jobst).

Kekhawatiran berikutnya, dalam pikiran saya sendiri tentunya, lantas menyeruak.

Okelah, Oda penulis manga yang andal (kalau bukan penulis fiksi paling andal sepanjang sejarah), tapi apakah dia paham bagaimana penulisan serial TV yang baik? Belum lagi benturan kultur Jepang-Barat dalam prosesnya, atau seberapa banyak batasan-batasan yang mesti digaris dalam naratifnya, karena sesungguhnya ini cerita yang masih berlangsung.

Kau bisa saja menegasikan seluruh opini (dan kekhawatiran) seputar proyek ini hanya dengan ujaran pendek (tapi mujarab): “bahwa ini semua sudah di-approve Oda”. Sikap demikian dapat digunakan untuk para bigot yang mengeluhkan casting aktor kulit berwarna atau mencaci aktor yang menggunakan pronouns they/them. Di luar itu, “approval Oda” sama sekali bukan sikap favorit saya, lantaran terdengar bagai ucapan para fanatik kepercayaan yang dengan buta meyakini bahwa hanya merekalah yang benar di antara 8 milyar manusia. Tak ada manusia 3D yang pantas disucikan sedemikian. (Kalau 2D bolehlah, Silvers Rayleigh atau Shirohige bisa jadi kandidat kuat).

Harapan Oda juga bukanlah harapan saya. Bila ia ingin menjadikan bayinya ini kian mendunia, dan berhasil, good for him. Selebihnya, saya tak ambil pusing. (Meskipun kelak, saya betul-betul menikmati tweet maupun video-video reaksi dari para audiens baru [selama itu reasonable].)

Bagi saya yang telah mengikuti kisah ini sepanjang 2/3 hidup yang gjls ini, gol proyek ini sederhana: fun, minimal watchable. Dia tak perlu jadi trilogi The Lord of the Rings, bisa jadi bakal setara atau lebih baik dari Harry Potter, tapi paling tidak, ia hadir dengan nggak malu-maluin.

poster-poster OPLA, entah kenapa, rada kurang. ini yang paling mendingan

Perlahan, promo demi promo Project Panda diungkap ke khalayak. Saya mengikuti, mungkin, seluruh update-nya; membaca press notes panjang soal live-action ini maupun seluruh catatan dan testimoni Oda yang dipublikasikan, bahkan mengonsumsi konten promosi dari para cast utama atau para penggawa lainnya. Nyaris tak ada yang terlewatkan, sampai pada tahap saya melihat Arlong bereaksi terhadap dirinya sendiri.

Semua itu berangkat dari kekhawatiran. Agak susah dilukiskan, tapi semacam mekanisme proteksi terhadap diri sendiri sebagai fan sejak Shanks masih bernama Jeki, yang bukan main cemas bakal dikecewakan.

Upaya-upaya defensif itu mulai berbagi ruang dengan rasa penasaran. Kekhawatiran sangat besar mulai berkurang ketika satu-persatu cast-nya diumumkan (pernah saya bicarakan dalam video ini) dan benar kata rangorang, casting director proyek ini makan buah iblis cast cast no mi (bentuk pujian yang tak bisa lebih tinggi lagi).

Apa yang mereka tunjukkan, dengan gairah besar pada source material, dengan perhatian pada detail mendalam, perlahan mengecilkan kecemasan, membesarkan keyakinan. Gairah dari para fans yang menukangi nyatanya diimbangi profesionalnya berbagai penggawa yang terlibat (yang tak mesti fans One Piece).

Dari press notes-nya, saya juga menemukan keseriusan maksimal dari berbagai departemen seperti production designer, costume designer, prosthetic designer, para stunts, dan sebagainya. Sebagian besar datang dari Afrika Selatan, tempat diproduksinya serial ini, juga menemukan nama-nama yang saya cukup familier akan kerja-kerjanya, semisal desainer produksi yang datang dari Black Sails, ya, serial TV bajak laut tier-S itu. (Meski kemudian serial lebih serind dibandingkan dengan Pirates of the Caribbean, pada dasarnya OPLA sebetulnya berbagi lebih banyak elemen dengan Black Sails.)

behind the bts

Pagi atau siang saya yang biasanya buruk (karena kenaikan asam lambung dan ketidaknaikan saldo) serta-merta membaik berkat setiap teaser atau trailer.

Itu pertanda yang bagus. Saya mulai percaya.

Bahwa ini akan bekerja, minimal, menyenangkan. Ditambah dengan rasa penasaran ingin menjadi saksi bagaimana karakter-karakter, dunia, dan kisah ini ‘menjadi nyata’, ketimbang memaksakan apa-yang-saya-inginkan tampil di sana, semuanya pun jadi jauh lebih enteng.

Proses tujuh tahun Project Panda yang dimulai sejak wacana, join forces-nya Tomorrow Studios dan Shueisha, penulisan skrip yang memakan dua tahun sendiri, hingga produksi berlarut karena pandemi COVID-19, terus dikawal promosi Netflix yang maksimal. Seluruh konten promosinya sepenuhnya menyasar fans lama, lihat saja bagaimana Iñaki Godoy dkk. menjawab berbagai pertanyaan dengan jawaban sarat spoiler bagi audiens baru.

Jelang tanggal rilisnya pada 31 Agustus, promonya lantas kian masif — yang lagi-lagi rasanya sama sekali tak menyasar penonton baru. Mulai dari Buggy yang bertengger di laman-laman utama tumblr hingga kapal-kapal replika Going Merry bersandar di Rio, Manila, dan Jakarta. (Mungkin karena sudah bakar banyak uang banyak juga) Netflix lantas dengan percaya diri mem-posting berbagai testimoni Oda, bikin atraksi drone show spektakuler (tribut indah untuk judul ini), bahkan menampilkan 1–2 episode pertamanya di screening terbuka di banyak negara.

Sepercaya apa pun saya, mekanisme defensif sudah kepalang terbentuk. Saya siap bila ia gagal, kapanpun bakal otw kembali ke mantra ampuh: bahwa kita selalu bisa kembali manga-nya, selalu punya anime-nya.

Episode 1 — Romance Dawn

Romance Dawn, episode pertama OPLA tiba, dan syukurlah mengguratkan kesan pertama secara keseluruhan bahwa ia layak tampil, nggak terasa ‘maksa’. Itu yang paling utama.

Ada keseimbangan di sana. Ketimbang mencoba mengejar kesan hiperrealistis (lalu gagal), One Piece yang senantiasa terkesan goofy tetap hadir, meski seringkali ditekan sampai batas yang wajar. (Topi anjing Garp masih ada di sana).

Konsesi dari Oda untuk menghadirkan cerita lama-tapi-barunya segera terlihat membuahkan hasil. Sutradara dua episode pertama, Marc Jobst, kebagian tugas yang lagi-lagi terdengar tidak mungkin: menarik minat penonton sesegera mungkin seraya meneruskan ekspansi cerita, selagi meringkas arc Romance Dawn dalam satu jam.

Selagi saya masih beradaptasi dengan Luffy-nya Iñaki Godoy (yang pastinya tidak terus berteriak-teriak laiknya canon Luffy), kisah melaju cepat, sangat cepat. Seraya mencermati gerak-gerik sang karakter utama, ritme penceritaan ‘baru’ ini juga memerlukan penyesuaian dari pembaca/penonton lama.

Lalu Roronoa Zoro-nya Mackenyu muncul. Kurang-lebih sama congkaknya, dengan polah yang bisa dikatakan lebih sassy, lebih serupa sang aktornya sendiri, minimal dalam beberapa wawancara terkait One Piece atau anime. Diikuti Nami-nya Emily Rudd, yang segera terlihat di-doubled down pada sisi serius sang navigator, lebih peka lagi dan kelak makin mengesankan jelang akhir.

Serial lantas mengambil pendekatan yang gruesome: ada tubuh terbelah dua — dalam plot yang hanya sekilas disinggung, tak pernah digambarkan dalam manga. Itu sekaligus jadi pendekatan yang merinci, terutama dalam merangkai kelanjutan dengan season berikutnya. Begitu pun Luffy kecil yang melukai dirinya sendiri, tampak cukup mengejutkan siapa pun yang tak membaca manga-nya. Dua shock value di awal itu pun cukup bagi mereka yang meragukan serial ini bakal melunak soal kekerasan.

Ditekannya tone humor segera terasa ketika tak ada ‘pemaksaan’ dalam upaya Luffy, yang dalam canon, merekrut Zoro dengan seenaknya — memang tampak hanya bekerja di medium lain atau penulisan yang menitikberatkan pada komedi. Persistensinya Luffy lantas ditampilkan dengan gaya berbeda, tetap dengan charm yang tak jauh melenceng.

Konsep ‘adanya good marine, ada bad marine’, serta ‘ada perompak jahat tapi juga ada perompak baik’ dikenalkan sedari dini, dan tampaknya bakal dijadikan tema berulang dalam naratif serial. Dalam canon, marine bangsat seperti Nezumi sudah muncul cukup awal, tapi konsep yang sama rasanya baru benar-benar tertanam puluhan/ratusan chapter/episode bagi fans lama.

Alur cerita Garp (Vincent Regan), Koby (Morgan Davies), dan Helmeppo (Aidan Scott) — selanjutnya disebut ‘Garpkobymeppo ‘— malah mengesankan kebalikan dari metode “show, don’t tell”. Jelas bukan teknik terbaik, tapi bisa jadi sangat diperlukan serial ini untuk menangkap esensi, filosofi/ideologi masing-masing karakter sesegera mungkin. Ini lantas terkait dengan poin lain lagi, yang juga bukan bagian terbaiknya, sisi emosional (bagi fans lama).

Tak ada perpisahan Koby dengan Luffy yang melibatkan satu peleton marine memberikan hormat kepada bajak laut. Eksekusi adegan Zoro dan Rika (atau ‘adegan onigiri’) jelas terasa kurang emosional ketika dimampatkan di sini. Diikuti pula kelak dengan sekadar-jadi-cameo-nya Chouchou pada episode berikutnya.

Ditekan atau dibuangnya deretan subplot emosional macam itu, barangkali atas alasan-asalan macam tingkat kesukarannya, pemangkasan durasi, hingga kesinambungan penulisan ulang ini — tampaknya bakal jadi kejutan yang baik untuk para pendatang baru yang baru meraih komik atau seri animasinya.

Secara keseluruhan, ini jadi episode yang hectic, kurang fluid di sana-sini. Begitu banyak yang terjadi, begitu banyak karakter yang mesti dikenalkan. Jauh, jauh lebih padat ketimbang Romance Dawn di manga-nya, bahkan sedari urusan tampilan (dengan banyaknya ruang kosong dan set yang lengang gambaran Oda).

Baiknya, tetap menyiratkan sensasi bahwa ia berada di jalur yang tepat untuk jadi live-action manganime yang pantas, fun. Minusnya tak ada apa-apa dibanding plusnya — yang sangat-sangat sulit dicapai. Pada waktu bersamaan, jadi episode pilot yang memberikan kesan bahwa serial ini bisa dengan mudah disaksikan secara binge-watching.

Bagi fans lama, mudah untuk menemukan adanya kepedulian yang mendalam pada prosesnya. Pula hadir dengan pikatan baru untuk lanjut menunton, sebabnya bagaimana cerita ini bakal diputer, tetap nggak bisa betul-betul ditebak.

Dan Buggy the Clown baru saja muncul.

Pirate Kinggg, di mana kausembunyikan hartamu?! | Haha hha hh kepo bat l’pada! | (warga kecewa)

Selanjutnya, saya akan membagi poin-poin terkuat/terlemah lainnya, mestinya untuk bagian yang luput disertakan. Tapi juga, ya, suka-suka saya lah gimana bentuknya ntar, bisa jadi juga satu poin masuk ke dua-duanya.

(-) lainnya:

  • (Masih) soal momen-momen emosional yang absen. Selain untuk beberapa motif yang saya perkirakan di atas, tampaknya juga demi sensasi drastis antara happy-go-lucky-nya petualangan Luffy cs. dan momen-momen emosionalnya yang sanggup menggurat dalam-dalam.
  • Roger nggak bilang “in one piece” atau “the one piece”. Lalu warga kedulu heboh otw laut lezgoo. Kayaknya sih biar nggak redundant, biar beberapa saat kemudian narator Ian McShane (satu-satunya nama besar dalam season 1) bisa mengucapkan “THE ONE PIECE” seraya logo judul muncul dramatis.

(+) lainnya:

  • Ide Luffy breaking the 4th wall sempat bikin mengernyit, sampai ternyata ia sedang berbincang satu arah sama News Coo — terasa ‘tetep Luffy’.
  • Breaking the 4th wall betulan, pengenalan pirate yang berinteraksi dengan poster bounty melayang; stylish, keren, sangat menghibur.
  • Pertempuran antarkapal a la bajak laut klasik oleh Alvida Pirates.
  • Helmeppo.
  • Komposisi “Binks’ Sake” (atau di sini dijuduli Bink’s Brew”). Ah, nggak.. hanya lagu ceria biasa ha ha.
  • Penempatan score dan musik garapan komposer Sonya Belousova dan Giona Ostinelli. Ini rasanya pantas diulang sebagai poin plus pada ulasan setiap episode.
  • Charm Luffy yang bikin orang-orang tertarik bergabung, paling nggak jadi ally, rasa-rasanya segera mudah ditangkap.
  • Sound effect, yah, dan hal-hal teknis lainnya yang bisa mudah terabaikan bila kurang awas (atau kurang apresiatif). Desain produksi, kostum, set kapal dan lokasi semuanya menopang dengan layak sekaligus memuaskan indera.
  • Mr. 7 (tepatnya 7.0) walaupun kata kawan saya mirip vokalis fourtwnty, tapi desainnya sudah sesuai gambaran sekenanya dari Oda. Detail, detail.
  • Nilai buruan Roger yang tak ditampilkan. Tahu batasnya untuk urusan reveal.
  • Ada lebih banyak lagi poin plus setelah saya menonton ulang (action scenes, Luffy yang nggak one-man show pada awalnya, eksekusi three sword style-nya Zoro, dst.) tapi baiknya diakhiri ini aja: animatronic Den Den Mushi SEGEDE KUCING.

Episode 2 — “The Man in the Straw Hat”

Setelah episode pilot yang riweuh dan berlalu demikian cepat, serial mulai terasa benar-benar lepas landas di episode 2 atau ‘episode Buggy’ ini. 50an menitnya betul-betul terasa layaknya episode TV show yang berfokus, yang ‘mulai bertutur’.

Alih-alih di kapal, kru Buggy Pirates bermarkas di tenda karnaval yang dibangun di atas reruntuhan Orange Town, di mana warganya disiksa lebih lanjut dengan dipaksa mengapresiasi ulah-ulah sang badut.

Buggy-nya Jeff Ward, jelas jadi alasan utama. Ini orang yg datang audisi karakter ini dengan mengenakan makeup badut. Membicarakan Buggy di sini seakan tak ada ujungnya. Singkatnya, penggambarannya jadi salah satu karakter badut terbaik di motion picture yang pernah saya saksikan.

Babak-babak kelahi jadi kian campy, berkat aksi Red Haired Pirates (terutama Yasopp), pastinya juga berkat kekuatan Luffy, serta kini Buggy, yang ditampilkan dengan layak oleh CGI, dibantu practical effect atau apa pun.

Shanks-nya Peter Gadiot tampil dengan pantas (malahan jadi salah satu penampilan terbaik di serial). Ingat, menampilkan gravitas seorang Shanks tidak lebih mudah ketimbang karakter-karakter yang seakan sudah setengah jalan menuju kemantapan bila desainnya saja sudah sukses diterjemahkan (i.e. Buggy, Mihawk, Zeff). Ini karakter yang perlu nuansa dalam setiap penyampaiannya, dalam segala tindak-tanduk dan perkataannya — hal serupa berlaku untuk kelima kru awal Straw Hats.

Kemantapan Shanks, juga Yasopp bahkan Lucky Roux (berantam pake paha ayam itu sudah cukup mengelevasi karakternya), kian menguatkan kesan mereka sebagai panutan, abang-abangan bajak laut yang chill, yang keren karena chill-nya — sekalian memperlihatkan mengapa Shanks ada di jajaran leader terbaik dalam One Piece. (Bahwa mereka beraksi lebih banyak ketimbang di manga-nya selama 26 tahun ini juga jelas jadi bonus).

Tampilan kumal mereka juga jadi sentuhan jitu, malahan bikin saya berharap ke depannya para awak Straw Hats juga sesekali tampak kumal, sebagaimana film/serial bajak laut lainnya, sebagaimana fakta canon bahwa Zoro dan Luffy hanya mandi SATU KALI dalam SEPEKAN.

Ini lantas terkait dengan perubahan tampilan Windmill Village (Desa Foosha). Desa-desa beton yang terasa ‘biasa’ dalam manga-nya, digantikan dengan perkampungan estetika kayu/kampung nelayan(?). Barangkali demi penghematan budget saja, tapi pengubahan jadi bagai desa/kota Karibia era keemasan bajak laut dunia nyata sama sekali bukan pilihan buruk.

Penggambaran kru Shanks dan Windmill Village (serta pertempuran Alvida pada episode sebelumnya) bisa dibaca sebagai upaya serial ini untuk menjejak pada awalnya. Bahwa.. oh, ini adalah kisah bajak laut, sebagaimana judul-judul yang mendahuluinya. Ini terjadi di desa dengan orang-orang yang dekil, vibe yang pirate-y, dengan swashbukcling-nya; sensasi-sensasi yang familier. Sebut saja sebagai ucapan selamat datang, sebelum serial ini berkembang jauh melampaui soal suasana dan estetika kisah perompak biasa menuju..apa pun itu di hadapannya kelak.

Satu keluhan (yang jelas ora penting) ialah soal bedanya aksen Inggris Luffy dan Garp, bahkan bedanya aksen Luffy dewasa dan Luffy kecil. Argumen bahwa ia tak benar-benar tumbuh bersama sang kakek bisa dikemukakan, tapi paling nggak, aksen Luffy kecil maupun Luffy dewasa mestinya serupa dengan aksen Inggrisnya Makino, bukan?

The Man in the Straw Hat mewujud terang-terang lebih solid ketimbang pilotnya. Episode yang akhirnya bikin betul-betul yakin. Untuk orang yang telah menyaksikan megahnya Pirates of the Caribbean, serius dan dekat-dengan-sejarah-nya Black Sails, maupun konyolnya Our Flag Means Death, dua episode ini cukup meyakinkan bahwa One Piece Live-Action layak berada di jajaran yang sama dengan judul-judul di atas sebagai ‘proper pirate show’.

Lantas, sebagai ‘proper One Piece adaptation’? Ah, ini baru permulaan (yang baik).

(-) lainnya:

  • Chouchou, sudah dipaparkan pada ulasan episode pertama.
  • Casting Benn Beckman. Tentunya tiada masalah dengan aktornya, tapi mengharapkan karakternya tak terlihat lebih menyerupai Steven Seagal juga mestinya tidak terdengar over-critical. Tak akan saya ulangi sebagai poin minus pada episode-episode berikutnya bila ada casting yang terasa ‘meleset jauh’. Karena bahwa selain sangat sedikit jumlahnya, juga benar-benar bukan masalah yang perlu di-nitpicking, apalagi jika melihat begitu banyaknya ‘kemenangan’ yang melampaui ekspektasi soal pemilihan aktor dalam serial ini.

(+) lainnya:

  • Be Good, Luffy”. Disampaikan dengan apik, dan poinnya pun sampai: mengapa Luffy jadi good pirate. Berkat figur abang-abangan seperti Shanks.
  • Inspirasi Luffy dari Shanks juga langsung diperkuat. Di samping (mengutip kawan saya, user @ soyjorbu) ‘lebih artikulatif’, Luffy di sini langsung menerapkan apa yang ia peroleh dari idolanya; pemahamannya, perkataannya, hingga prinsip yang gamblang semisal bahwa tak semua situasi mesti (segera) diselesaikan dengan otot.
  • Luffy menyembunyikan rol peta di perut. Perks manusia karet yang berhasil dikembangkan.
  • Luffy kecil (Colton Osorio) mungkin berbeda dengan Luffy-nya Iñaki, tapi penampilannya sudah pantas.
  • Den Den Mushi versi ponsel/earpiece.
  • Pelafalan “Chop Chop Cannon!” oleh Buggy. Menyebutkan jurus bisa jadi terdengar konyol di live-action — antisipasi yang sama sekali tak terjadi pada setiap detik kemunculan Jeff Ward.
  • Knows/Nose. Siapa juga yang tahu, selain fans Jepang dan kadang penyertaan catatan editor dalam manga-nya, seberapa banyak Oda menggunakan pelesetan atau diksi Jepang yang terdengar mirip, ambigu atau bersayap dalam penulisannya. Penerapan macam itu pun masuk ke sini.
  • Surprise, shithead!” Ya, masih seputar Buggy. Mestinya tak selucu itu. Mungkin karena akhirnya bikin serial terasa mengusung salah satu ‘spirit’ One Piece di mana banyak karakternya yang dianugerahi skill bikin cacian kreatif/gajelas, sekalian karena membuatnya tampak berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, oleh Buggy versi fenomenal.
  • Bikin senang, terutama dalam menjelang episode-episode berikutnya. Juga faktor penting dalam menjaga semangat untuk mengerjakan tulisan dalam format yang lumayan merepotkan kayak gini, selagi beberapa artikel lanjutan menanti.

[Artikel selanjutnya: Ulasan OPLA episode 3 & 4]

--

--