“Ada nada dalam hujan yang hanya didengarkan oleh mereka yang bersedih”
“Orang yang gembira akan mendengarkan musik, sementara orang yang bersedih bakal mendengarkan lirik”
Aku tak tahu siapa yang membuat kutipan-kutipan macam itu yang jamak ditemukan di internet sejak, mungkin 2000-an. Sepertinya bukan dibuat oleh figur terkenal, lantaran ketika kumasukkan kata-kata kuncinya ke mesin pencari, tidaklah muncul hasil pencarian yang mengerucut pada satu-dua figur tertentu. Tak apalah, lagipula kita kelewat sering mengutip ocehan/guratan orang-orang dari masa kelewat lampau, saat robot belum ditemukan.
Mengenai dua kalimat pembuka tulisan ini, kita perlu menguji lebih jauh kesahihannya. Kita, maksudnya adalah mereka yang menggiati bidang tersebut (psikologi, musik, hujan, dsb.). Aku mau saja melakukan hal itu. Berikan uang yang cukup, kalau bisa sih lebih, dan kirimkan aku ke tempat-tempat yang didera hujan. Lebih bagus kalau tempatnya punya pemandangan indah dan tidak kelewat banyak orang jahat. Mengetuk kaca jendela rumah orang satu-persatu kala melihat penghuninya sedang tepekur menatap hujan bukanlah masalah. Itu semua untuk menanyakan satu-persatu: halo, semangat pagi, apa benar dua kalimat ini?
Untukku, sialnya, keduanya benar sampai tahap tertentu. Aku tidak/belum mendalami lebih lanjut, apakah ini semacam respons “oh, bener juga” belaka, atau sekadar sugesti karena keduanya sudah cukup lama hinggap di benak. Sejak akhir Oktober atau awal November, aku lupa tepatnya, hujan melanda Sungailiat terus-terusan. Nyaris setiap hari. Awal November, hujan jadi kian personal. Seterik apa pun mentari di luar, aku kehujanan di dalam. Setiap hari.
Ritmik hujan, entah betulan maupun kiasan, meraup lirik-lirik dalam ingatan, mendorongnya ke tenggorokan dan berakhir terputar di ujung mulut. Yang paling pertama tentu yang paling sederhana dan harfiah: even when it’s raining, and the wind is blowing, dan seterusnya. Itu ada di dalam lagu kasmaran biasa-biasa saja atau tembang dunia-hanya-milik-berdua yang sangat earworm dari Die Antwoord berjudul, tentu saja, I Don’t Care.
Lirik kedua yang nyaris otomatis muncul saban hujan tiada bukan rain down, rain down, come on rain down on me. Aku hanya tahu kurang dari jumlah jari dua tangan lagu-lagu Radiohead, tapi itu lagu yang bagus, sangat memorable, terutama verse ke-4 Paranoid Android itu. Entahlah lagunya soal apa. Yang pasti sampai tahap tertentu, “orang yang bersedih bakal mendengarkan lirik”, betulan terjadi.
Aku juga tak begitu mengerti kenapa ‘rain’ yang menjadi kata kuncinya, alih-alih ‘hujan’. Mungkin karena lagu soal hujan berbahasa Indonesia yang kuingat hanyalah lagu berjudul Lagu Hujan itu sendiri, bikinan Koil. Lagu itu pernah dibawakan ulang oleh Amazing in Bed dan Vincent Vega. Kalau kurang puas mendengarkan salah satunya, aku biasanya menyetel seluruh versinya.
Hujan kadangkala membawaku pada kesialan atau memaksa berhenti sejenak. Maklum, bukan pengguna kendaraan beratap. Hujan membawa melankolia, menganjurkan malas-malasan sebagai aktivitas terbaik untuk manusia. Aku menganggap hujan sebagai hal yang biasa saja, selain ketika berteduh entah di mana tau dalam kondisi lepek. Aku benar-benar tak masalah jika sedang berada di tempat yang aku suka, yang beratap. Di rumah yang tidak bocor plus minuman hangat, mendengar nada yang hanya bisa didengarkan mereka yang bersedih.
Kembali ke Lagu Hujan milik Koil. Ia datang dari masa ketika mereka belum tampil di Inbox, belum benar-benar memainkan musik industrial seperti Koil yang kita kenal sekarang. Barangkali saat mereka masih amat terinspirasi dari Cocteau Twins. Rasakan saja liriknya, yang lebih lestari ketimbang attention span orang banyak. Lagu yang memaksa lamunan, tapi juga optimisme untuk terus lanjut dari apa pun yang sedang kauhadapi saat ini, dari hujan.
Hujan deras mengingatkan pada suatu waktu ketika aku dicampakkan di pinggir jalan. Yang terkini, musim hujan sepertinya bakal mengingatkan kala aku diperlakukan tak seperti manusia, selamanya.
Di luar dan di dalam, ada hujan. Tetapi di dalam juga ada kebakaran hebat yang menghanguskan. Lirik-lirik paling kasar otomatis datang kembali. We’re fucking murderers, and liars, and rapists, and thieves, teriak Greg Puciato dalam salah satu gig The Dillinger Escape Plan. Atau mungkin untuk setiap gig mereka, ia menambahkan expletive pada lirik Farewell, Mona Lisa yang sejatinya sudah bengis. Aku mendengarkan lagi album mereka yang memuat lagu itu, teringat bahwa di antara kemarahan dan ketukan-ketukan yang ganjil, ada lagu-lagu mereka yang “bisa disenandungkan” terutama dalam kondisi seperti ini. Satu-persatu lagu band paling brutal yang sudah tak aktif itu kutelusuri.
Patah nyaris di semua lini. Tetapi seperti yang didengungkan Koil, ku akan pergi saat hujan reda. Itu sepertinya bagian kedua terbaik dalam lagu itu. Bagian terbaik pertama pastinya jatuh kepada: walaupun lama pasti reda juga.
Walaupun lama pasti reda juga. Berganti cerah, atau sesekali hujan halau mentua kalau diperlukan. Saat itu akan datang, entah kapan. Namun yang lebih tepat untuk hari-hari ini sepertinya ialah lagu The Dillinger Escape Plan lain lagi yang kutemukan kembali, yang berlirik I feel the world fall from the inside. It’s coming down.
Entah apa maksud lagunya, tetapi yang lebih tepat untuk disenandungkan pada hari-hari ini ialah lagu yang sama yang memuat lirik macam bleed like the rain that falls upon my skin. Berdarah seperti hujan.